.
.
Ini sudah berakhir. Benar-benar sudah berakhir.
Erika tidak akan pernah lagi membukakan pintu itu untukku.
.
.
***
Mobil sport merahku sudah kuparkir persis di luar pagar rumah Erika. Mesin mobil segera kumatikan.
Aku kembali mengeluarkan ponsel dan mengeceknya, entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini. Kuembuskan napas. Erika sudah membaca pesanku, tapi tak ada satupun yang dibalasnya.
Jariku mulai menekan huruf-huruf.
Erika, aku ada di luar rumahmu. Apa aku bisa bicara padamu sekali lagi?
Aku sempat ragu, tapi akhirnya tetap kukirim pesan itu. Pintu mobil kubuka, dan aku berdiri bersandar di mobilku. Menatap balkon kosong itu. Lampu kamarnya menyala. Dia ada di dalam.
Mataku menatap sayu. Tangisan panjangku kemarin malam meninggalkan bekas sembab di bawah mataku. Semalam adalah untuk pertama kalinya aku menangis sejak ... sejak lama sekali sewaktu aku kecil. Waktu itu aku masih SD, saat ...
"Nak Yoga?"
Aku terkesiap. Ibunya Erika muncul dari pintu gerbang. Aku segera berdiri dan sedikit menundukkan kepalaku.
"Iya, Tante. Maaf saya ganggu malam-malam."
Wanita itu menggeleng. "Enggak. Sama sekali gak ganggu, kok. Kenapa berdiri di sini? Enggak mampir?"
Aku salah tingkah. Bingung bagaimana menjelaskannya. "Saya ... mm ... saya dan Erika --" suaraku tercekat saat menyebut nama Erika. Kalimatku terputus. Sama seperti tadi pagi saat aku ingin menceritakannya ke Gito. Aku berakhir dengan tak mampu menceritakannya sama sekali.
Ibunya Erika mendekatiku dan mengelus kepalaku, membuatku terkejut.
"Erika gak cerita apa-apa sama tante. Tapi Tante tau. Tante ikut sedih, Yoga."
Caranya mengelus kepalaku membuatku teringat pada Ibuku. Akhirnya aku tidak sanggup membendung rasa, dan air mataku jatuh begitu saja.
***
Sebelumnya, saat pertama kali aku 'minta izin' pada Ibunya Erika untuk berhubungan dengan putrinya, bukanlah kali pertama aku bertemu dengan beliau. Sebelumnya, aku sudah pernah bertemu dengannya.
Tepatnya saat pertama kali aku menginjakkan ban mobilku di depan rumah Erika. Di malam saat aku begitu ngotot ingin menjadikan Erika pacarku, setelah dia menolakku dua kali.
Saat itu Erika dengan tidak sensitifnya mengabaikan pesan-pesanku di ponselnya, dan tak kunjung mengangkat telepon dariku. Setelah aku menunggu sekitar satu setengah jam, ibunya keluar dari pintu gerbang.
"Mau cari siapa ya?" tanya wanita itu.
Saat aku melihat sorot mata dan wajah ramahnya, aku segera mengenalinya sebagai ibu dari Erika, perempuan pertama yang membuatku tergila-gila.
"Saya ... saya Yoga. Mau cari Erika, Tante."
"Erika ada di dalam, kok. Apa kamu sudah hubungi dia?"
Aku merasa agak malu. Karena sudah jelas aku menghubunginya, entah sudah berapa kali. Tapi tak sekalipun diangkatnya!
"Saya akan coba hubungi dia lagi, Tante. Maaf saya ganggu malam-malam."
Wanita itu tersenyum. "Enggak ganggu sama sekali, kok. Coba kamu hubungi dia, ya. Atau Tante kasih tau Erika kalau kamu ada di sini."
"Eh! Jangan, Tante! Enggak apa-apa. Biar saya coba hubungi dia sekali lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
EspiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...