Bagian 54 (Life Goes On)

1.2K 65 8
                                    

.

.

Semoga 'sandiwara' ini segera selesai.

.

.

***

Suasana pesta bernuansa klasik itu, berlangsung di sebuah ballroom mewah di salah satu gedung tinggi perkantoran ibukota. Tiang-tiang berprofil lengkung khas arsitektur klasik, lipitan tirai-tirai sutera putih, dan tempat lilin dari perak, memperkuat kesan klasik pada tema pesta malam itu.

Suara gelas kaca yang berdenting, bercampur dengan suara tawa anggun khas sosialita, diiringi alunan komposisi tuts piano karya Chopin berjudul Nocturne in Eb Op 9 No 2. Kesemuanya membuat nuansa klasik semakin kental. Para tamu pesta, lelaki bangsawan dan para wanita berkelas, nampak larut dalam suasana.

Orang-orang nampak ceria, kecuali seorang pria yang lebih memilih menyendiri, kalau tidak mau disebut 'kabur'. Yoga berdiri di sebuah balkon di lantai 15. Dia mengenakan jas dan celana panjang yang semuanya serba putih sesuai dengan dress code pesta. Sedangkan kemeja dan dasinya berwarna perak. Sikunya bertopang di atas railing beton putih yang berbentuk lengkung khas arsitektur klasik. Matanya menyiratkan kebosanan, menatap ke bangunan-bangunan di bawah. Lampu-lampu bangunan dan kendaraan yang melintas, nampak berkilauan seperti bintang, namun tetap tidak membuatnya merasa senang. Nampak jelas kalau dirinya sebenarnya tidak ingin berada di tempat ini.

Pesta sosialita. Sesuatu yang dia benci. Sejak sejam lalu, dia sudah memaksakan otot-otot pipinya direnggangkan. Memasang senyum palsunya. Istilah lainnya adalah 'senyum komersial', atau 'senyum bisnis'. Karena para tamu pesta malam ini, rata-rata adalah kolega ayahnya, rekan bisnis, dan yang 'menyeret' Yoga ke tempat ini adalah ...

Mendadak jari telunjuk dan jempol seseorang menjepit otot pipi kanan Yoga.

"ADUH!!" Yoga melotot ke samping. Orang itu ternyata tak lain dan tak bukan adalah ayahnya.

"Ngapain sih, Yah?? Pake nyubit pipi segala?" protes Yoga.

Danadyaksa, ayahnya yang telah memasuki usia keemasannya, tetap nampak gagah sekalipun helai rambut putih mulai nampak di sebagian rambutnya. "Jangan pasang tampang menyebalkan seperti itu, Yoga! Kamu tahu 'kan kita ke sini untuk apa? Senyumlah sedikit!"

Tangan Yoga mengusap pipinya yang baru saja dicubit ayahnya sendiri. Dia masih kesal karenanya. "Aku 'kan dari tadi senyum! Capek juga pura-pura senyum sejam, Yah! Give me a break, lah."

Ayahnya mendekat dan berbicara setengah berbisik. "Sebentar lagi Pak Jimmy akan datang dengan putrinya, Aurelia."

Yoga melengos dan melempar pandangannya ke bawah balkon. Melihat reaksi anak semata wayangnya, membuat Dana jengkel. Kali ini dia mencubit pipi anaknya itu dengan dua capitan di kiri dan kanan. 

Serangan dadakan itu mengejutkan Yoga. Dengan kondisi kedua sisi pipinya dicubit, susah payah dia berusaha berteriak tertahan. "AYAHH!! AHAAN SIH??" seru Yoga terdengar salah bicara karena sulit bicara benar dengan kedua pipi dicubiti.

Dari sudut matanya, Dana melihat orang yang ditunggunya telah memasuki ruangan pesta dan sedang berjalan mendekat ke arah mereka berdua. Dia segera melepas cubitannya. Tangannya sekarang menepuk pundak Yoga dan berbisik, "Yoga, mereka sudah datang. Di belakangmu. Ingat! S E N Y U M!!" Kata 'senyum' diucapkannya dengan penekanan disertai mata mendelik.

Yoga memejam dan menghela napas. Suara langkah sepatu laki-laki dan hak sepatu wanita terdengar mendekat ke arahnya. Yoga memutar tubuhnya dan memasang senyum terbaiknya. Karena Yoga sudah terlatih dengan senyum palsunya sejak remaja, senyumnya tetap terlihat alami dan mempesona.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang