Bagian 90 (Suluk)

1.1K 112 50
                                    

.

.

"Dia TIDAK BOLEH dibiarkan mengerjakan piket sendirian!

Dia itu bukan orang biasa! Ingat! BUKAN ORANG BIASA!"

.

.

***

"Izin untuk menelepon lagi? Bukankah kemarin kamu sudah diberi izin untuk menggunakan fasilitas telepon di ruang ustaz?" tanya Syeikh Abdullah yang nampak tidak terkejut mendengar permintaan Yoga.


"Iya, Syeikh. Tapi kemarin saya belum berhasil bicara langsung pada ayah saya. Saya hanya sempat menitipkan pesan pada orang di rumah," jawab Yoga. Dia akhirnya mengambil keputusan ini, karena merasa tidak tenang pasca memberitahu Bastian perihal bertambah lamanya durasi dirinya di tempat suluk. Dia merasa tetap harus bicara langsung dengan ayahnya, semarah apapun Dana nantinya.

Alis putih Syeikh naik. "Bukankah itu sudah cukup?"

"Em ... saya ... saya merasa tidak enak kalau belum bicara langsung dengan ayah saya. Karena ... ," kalimat itu sengaja tak dituntaskannya. Karena setelah dipertimbangkan, sungguh tidak baik jika dia membahas hal duniawi di sini, di ruangan Syeikh. Dia tak mau mengotori ruangan gurunya dengan hal-hal semacam itu.

Karena, ceritanya begini Syeikh. Ayah saya adalah pemilik perusahaan Danadyaksa, dan saya bekerja sebagai staf ayah saya. Jadi sebenarnya, dia bukan ayah biasa untuk saya, tapi juga sekaligus bos saya. Nah ... ceritanya lagi, sebelum saya berangkat ke sini, ada laporan meeting yang belum saya selesaikan. Mestinya sih saya kerjakan dulu laporan itu. Tapi masalahnya, waktu itu saya keburu cuti. Saya cuti karena saat itu saya sedang dilanda kegalauan dahsyat, sebagai akibat dari ...

WHAA!! Tak mungkin dia mengeluarkan informasi-informasi yang tak penting itu tentang dirinya, di hadapan Syeikh pula!

Syeikh nampak sabar menunggu dia menyelesaikan kalimatnya. Yoga menggaruk belakang kepalanya. "Ehm ... karena ya, supaya lebih sopan aja, Syeikh. 'Kan enak kalau saya bicara langsung ke ayah saya," kilah Yoga beralasan.

Sempat ada jeda sesaat sebelum pria berjanggut itu menjawab, "Maaf, Yoga. Bukannya saya melarang peserta suluk untuk bicara dengan keluarganya. Tapi peraturan yang kami berlakukan di tempat ini, semua ada maksudnya. Semuanya untuk kebaikan peserta suluk sendiri. Sebab terlalu banyak kontak dengan orang di luar tempat ini, bisa mengganggu konsentrasi ibadah. Karena orang-orang di luar sana bisa membawa urusan duniawi ke dalam pikiran kita di sini yang sedang berusaha fokus dengan akhirat. Kamu mengerti maksud saya?"

Sepasang mata Yoga tertunduk. Dia sudah menduga permintaannya ini akan ditolak. Tapi walau demikian dia tetap mencobanya.

"Kami mengizinkanmu menelepon keluargamu kemarin, karena di luar rencana semula, mendadak masa sulukmu berubah dari 20 menjadi 40 hari. Tapi maaf, kami tidak bisa memberimu izin lagi untuk menghubungi siapa pun di luar tempat Suluk. 40 hari terdengar lama, tapi tanpa kamu sadari, waktu akan berlalu dengan cepat. Lebih baik kamu berusaha agar bisa fokus dengan kegiatan di sini."

Yoga berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Dia mengangguk pelan. "Baiklah, Syeikh. Saya mengerti. Kalau begitu, saya pamit dulu Syeikh. Terima kasih atas waktunya. Assalamu'alaikum," kata Yoga seraya mencium tangan Syeikh.

"Wa'alaikumussalam," jawab Syeikh sambil tersenyum.

Yoga membungkuk pamit sebelum membuka pintu geser. Sesaat sebelum keluar dari ruangan, Syeikh memanggilnya. "Yoga."

Dia menoleh ke belakang. "Ya, Syeikh?"

Pria tua itu kembali tersenyum, tapi kali ini ekspresinya berbeda, seperti menyembunyikan banyak makna. "Jangan khawatir. Ayahmu memang sempat terkejut. Tapi dia baik-baik saja. Lebih baik kamu mengkhawatirkan dirimu sendiri. Jangan sampai waktumu di tempat ini sia-sia."

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang