Bagian 185 (Foto Model)

901 148 34
                                    

.
.

Salah satu tanda ikhlas adalah, benci popularitas.

.
.

***

"Benarkah?? Anda bersedia untuk diwawancara secara eksklusif, sekaligus jadi model kami untuk edisi bulan depan?" Suara Marwan di ujung sambungan telepon terdengar tak percaya.

Yoga merespon tegas, "Ya. Sudah saya putuskan."

"Alhamdulillah ... terima kasih. Terima kasih banyak Pak Yoga. Insyaallah saya janji akan jaga amanat ini baik-baik," ucapnya penuh syukur.

C.E.O Danadyaksa Corp. itu tersenyum. Dia mendapat kesan wartawan yang satu ini sangat terbantu penghidupannya dengan bersedianya dirinya diwawancara eksklusif. Setelah selama ini banyak media berebut ingin mendapatkan sesi wawancara eksklusif dengannya, tepatnya setelah langkah pengembalian dana 21 perusahaan investor ditetapkannya bulan lalu.
"Sama-sama. Mohon kerjasamanya, Pak Marwan."

"Siap Pak. Kapan Bapak ada waktu?"

Mereka mengatur janji untuk jadwal sesi wawancara dan pemotretan di studio. Setelah sambungan telepon itu berakhir, Yoga meletakkan gagang telepon di atas meja. Menyandarkan punggungnya di kursi empuk. Memutar hingga posisi duduknya menghadap ke arah jendela kaca.

Sinar matahari siang menyapu kulitnya yang tanpa cela. Hening beberapa detik.

Foto model ... ?

"Huh ... ," bibirnya tersenyum setengah mengejek.

Sejujurnya, dia benci popularitas. Tapi jika pemuatan artikel kali ini ternyata bisa setidaknya memberi efek positif, sekecil apapun, demi lima ratus orang karyawannya, maka dia akan melakukannya.

Tunggu sampai Ayah mendengar ini. Dia tidak akan menyukainya.

Karena foto model adalah pekerjaan yang dilakukan Ibunya dulu, Claire. Dan sekaligus, hal yang membuat mereka berpisah.

Tapi tentu saja, yang dilakukannya berbeda. Dia tidak akan menjadikan foto model sebagai profesi, tapi hanya satu sesi pemotretan saja, untuk satu kali penerbitan majalah. Dan lagi, ini majalah bisnis. Bukan majalah fashion.

Mengurus hal yang berkaitan dengan sesi foto, mau tidak mau membuatnya teringat pada Ibunya. Terkadang muncul rasa itu. Rindu. Suka tidak suka, Claire tetaplah Ibu kandungnya. Dan setiap kerinduan itu muncul, dia harus menahan diri untuk tidak mencari tahu keberadaannya. Masih di Brazil kah dia? Apa dia punya anak dari suaminya yang baru? Apa yang dilakukannya di sana? Apa dia mencapai kebebasan sebagai seorang model, seperti yang selalu diinginkannya?

Dahulu, kala amarah masih menguasainya, gengsi dan kebencianlah yang mencegahnya menyelediki kehidupan Claire. Tapi sekarang, alasan itu berubah. Dia secara sadar telah berpihak pada Ayahnya. Ayahnya tetap adalah orang tua yang jauh lebih baik dari dia. Setidaknya, Ayahnya merawatnya. Ayahnya ada di sampingnya. Dan keputusan Dana saat itu, yang melarang istrinya menjadi model, kini dapat dipahaminya dengan jernih.

Sekiranya Yoga menikah, dia juga tak akan sudi foto wajah dan tubuh istrinya dipampang di media dan dilihat banyak pria. Itu adalah sesuatu yang tak bisa dipahami oleh Claire. Wanita itu hanya berpikir bahwa Dana melarang dia semata karena ingin mengekangnya. Claire pada saat itu, masih cenderung kepada prinsip kebebasan wanita modern yang mulai kebablasan. Prinsip yang tadinya hanya ada di Negara Barat, tapi kini sudah meluas melalui media ke seluruh dunia.

Ah cukup. Jangan buang waktu.

Tangannya meraih tumpukan dokumen di sisi kanan meja dan mulai memeriksa dari lembaran paling atas.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang