.
.
Kenapa aku tidak bisa menutup wajahku dengan kantung plastik kresek??
.
.
***
Seperti yang sudah kusangka, berusaha melupakan Erika akan menjadi hal yang berat. Beberapa bulan pertama, aku sama sekali tidak bisa tersenyum.
Sejak Lynn tahu kalau aku dan Erika putus, dia berusaha menghubungiku. Mengajakku jalan dengannya. Aku menolaknya. Kubilang, aku perlu waktu untuk sendirian. Dia menunggu, tapi kesabarannya sangat pendek. Setelah seminggu, dia kembali menghubungiku. Akhirnya aku mem-block nomornya. Tapi dia tetap berusaha menghubungiku dengan nomor lain. Sangat mengganggu! Akhirnya dengan terpaksa aku mengganti nomorku. Aku menyimpan dua kontak di kartu baruku. Erika dan Gito.
Walau aku tahu Erika tak akan pernah menghubungiku lagi, tapi aku tidak mau membuang nomornya.
Rasanya enggan sekali keluar dari kamar tidurku. Kenapa aku harus kuliah? Ah malas.
Daftar ulang, mengurus rekening kampus, penataran mahasiswa baru. Tatapan perempuan-perempuan di koridor, di ruang serba guna, di kelas, di kantin. Kenapa aku tidak bisa menutup wajahku dengan kantung plastik kresek??
Segera setelah jam kuliah berakhir, aku langsung 'kabur' ke tempat parkir dan melajukan mobilku ke rumah.
Beberapa anak perempuan berusaha berkenalan denganku di kelas. Aku bicara seperlunya, dan tak sekalipun memberikan nomorku ke mereka. Aku beralasan, nomorku baru ganti, jadi aku tidak ingat, dan ponselku ketinggalan di rumah. Aku benci tiap kali aku terpaksa berbohong. Tapi aku tidak mau mereka merecoki hidupku.
Namun di zaman yang serba 'terdaftar' ini, sangat sulit menyembunyikan nomor ponsel. Akhirnya informasi itu bocor juga, entah dari mana. Belasan pesan membanjiri nomor baruku. Intinya mereka mengajakku berkenalan, dan ingin ketemuan denganku. OGAH! Semua nomor itu aku block, tanpa tahu siapa - yang mana anaknya - anak tingkat berapa di kampus.
Akhir pekan adalah 'neraka' buatku. Karena dulunya aku selalu rutin jalan dengan Erika di akhir pekan. Banyak memori indah terjadi di akhir pekan bersamanya. Ingatan akan dia mencabik-cabik hatiku. Sangat menyakitkan. Kupikir ingatan ini akan hilang seiring waktu, tapi setelah dua tahun, rasa sakitnya tidak berkurang.
Aku tak punya teman satupun di kampus. Temanku cuma satu. Gito. Aku merasa bersalah pada Gito. Dia berusaha teratur datang ke rumahku tiap akhir pekan. Berusaha menyemangatiku. Tapi aku tetap lebih suka mengurung diri di kamar sebisa mungkin. Kecuali ayahku menyuruhku membantunya mengurus bisnisnya. Mau tidak mau, aku terpaksa keluar rumah dan bertemu orang-orang. Berusaha memasang senyum palsu.
Ayahku agaknya menyadari ada yang tak beres dengan anaknya. Suatu pagi di akhir pekan dia menerobos masuk kamar tidurku dan berdiri bertolak pinggang.
"Apa ini? Jam segini kamu masih tidur?" tanya Ayahku.
Aku memicingkan mata. "Ada apa, Yah?" tanyaku malas-malasan.
"Ayo bangun dan segera mandi! Ayah mau kamu ketemu sama supplier baru kita!" kata Ayahku tegas.
Aku segera duduk dan mengucek mata.
"Apa terjadi sesuatu yang buruk padamu?" tanya Ayahku dengan tatapan curiga.
"Enggak," jawabku singkat.
"Terus kenapa kamu gak kayak anak-anak muda normal yang lain? Keluarlah, bersosialisasi, kenalan sama orang-orang baru, ngapain kek. Pacaran, kek," kata Ayahku menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...