Bagian 151 (Akhir Suluk)

714 110 20
                                    

.
.

Tidaklah seseorang dikatakan murid sejati, kecuali dia menyadari bahwa satu dosa bisa meracuni dirinya.

.
.

***

Mereka masih duduk bersila di puncak bukit. Tangis Yoga mulai reda, setelah sebelumnya untuk pertama kali dalam hidupnya dia mengalami peristiwa spiritual paling agung.

Pria itu mengusap air matanya, dan mulai melanjutkan menyesap kopi kawa daun, yang kini sudah tak nampak asap panasnya. Minuman itu mulai dingin, menyerap dinginnya suhu udara. Ustad Umar diam seribu bahasa. Dia agaknya paham apa yang baru saja terjadi, dan memutuskan tak akan bertanya.

Mentari mulai cerah kekuningan. Pagi adalah tanda dimulainya kehidupan. Tanda kebangkitan. Tampak para petani mulai menggarap ladang. Istri-istri mereka membantu suaminya. Anak kecil bersepeda keluar rumah. Kehidupan menggeliat.

Yoga menikmati suasana ini, yang tak akan ditemuinya di ibukota. Suasana hari terakhir di tempat Suluk. Tempat yang tak akan terlupakan. Akan tersimpan dalam hati sesiapapun yang pernah merasakan hidup di dalamnya.

Dalam keheningan, tiba-tiba suara anak laki-laki mengejutkan mereka. Mahzar berlari dengan wajah panik.

"Pak Yoga!! Erika merusak kebun mawar!!"

Yoga mematung dalam posisi tangannya memegang mangkuk batok kelapa. Wajahnya pucat pasi.

Sementara Ustad Umar tubuhnya gemetar.
"A-apa ... ?? Kebun bunga mawarku ... ??"

Yoga buru-buru meletakkan gelasnya di atas nampan. "E-eh ... maafkan saya Ustad. Sa-saya akan ganti  kerugiannya. Beneran, Ustad ... "

Namun kekesalan Ustad Umar telah memuncak. Dia membayangkan seluruh perasaan cinta yang dituangnya pada tiap bunga mawar yang tumbuh merekah. Sulit merawat mereka hingga bisa tumbuh sedemikian indah.
"Kenapa kamu masih diam di sini?? CEPAT AMBIL KUCINGMU!! IKAT DULU DIA SEMENTARA!! BAGAIMANA KALAU DIA MERUSAK TANAMANKU YANG LAIN??"

"I-iya! Baik, Ustad!" Yoga segera berdiri dan berlari bersama Mahzar ke arah kebun.

Sementara dari kejauhan, Syeikh Abdullah sedang menyesap sisa kopi kawa daun di gelasnya. Sedari tadi dia mengamati mereka. Murid-muridnya. Senyum merekah di bibirnya. Karena menyaksikan bagaimana program Suluk 40 hari, telah memberi dampak yang signifikan pada Yoga. Muridnya yang satu itu sejak awal berbeda, dia tahu. Dan pria itu akan memikul beban berat setelah Suluk berakhir.

***

Pukul 07.00 pagi, Kediaman Danadyaksa, Jakarta ...

Dana menurunkan kertas koran dari hadapan wajahnya. Srek!

"APA?? YOGA BILANG BEGITU??" Pria itu terperanjat tak percaya dengan yang baru saja didengarnya.

Bastian berdiri di seberang meja makan. Sepagi ini dia sudah tampak rapi dengan seragam kemeja lengan panjang putih dan jas rompi hitam di bagian luar. "Benar Tuan. Semalam pukul satu Tuan Muda menelepon ke rumah. Minta dua orang supir menjemputnya di sebuah bukit di Sumatera Barat. Saya sudah menyewa sebuah mobil. Mereka sudah berangkat sejak sebelum matahari terbit. Tuan Muda bilang di telepon, dia akan pulang dengan membawa calon anggota keluarga baru. Saya kurang paham apa maksudnya, tapi kemudian Tuan Muda buru-buru menyudahi sambungan telepon."

Tangan Dana yang sedang menggenggam kertas koran, kini gemetar.

Akhirnya ... putraku itu memutuskan akan menikah!!

Imajinasinya segera membayangkan Yoga bersanding dengan seorang wanita cantik di pelaminan. Dia bahkan tak perduli pakaian adat apa yang akan mereka pakai. Adat Jawa kek, Sunda kek, Minang kek, internasional kek. Apa sajalah!! Yang penting Yoga menikah!

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang