Bagian 8 (Catatan Erika)

1.7K 86 3
                                    

.

.

"Sebesar apa kamu menyukaiku? Apa sama sepertiku?"

.

.

***

Perjalanan ke daerah Timur makan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Karena alasan klasik khas ibukota. Macet.

Aku celingukan melihat barisan panjang mobil di depan. "Wah panjang banget macetnya," komentarku.

"Ya memang begini biasanya. Daerah sini lebih parah sih, memang. Gak masalah. Nanti sampai di sana mungkin pas sudah gelap," kata Yoga.

"Memangnya ke mana ya?"

"Ke tempat camping," jawab Yoga nyengir.

"HAH?? SERIUS??" pekikku melotot.

"Iya dong, serius," timpal Yoga.

Aku merasa gemas. Memangnya dia pikir pergi ke tempat camping tidak perlu persiapan?

"Kalo gitu, ntar kita mampir ke mini market dulu ya," pintaku.

"Mau ngapain?"

"Ada yang mau dibeli."

Selepas melewati jalur kemacetan, kami mampir ke mini market. Setelah aku kembali duduk di mobil, Yoga melihat barang yang kubeli.

"Lotion anti nyamuk?" tanya Yoga heran.

"Iya. Sama cemilan dan minuman," ujarku seraya menunjukkan isi tas belanja.

"Emang perlu ya, lotion anti nyamuk?" Pertanyaan Yoga terdengar ajaib di telingaku.

"Perlu, dong. Kamu lupa ya kita tinggal di negara tropis? Tempat yang banyak pohon, biasanya banyak nyamuknya."

***

Kami sudah memasuki gerbang Bukit Perkemahan. Jalanan berkelok-kelok dan perlahan menanjak. Di kiri kanan jalan rindang pepohonan. Beberapa kelompok tersebar di berbagai spot di atas rumput. Beberapa tenda sudah didirikan, dan terlihat nyala api unggun di tengah-tengah perkemahan mereka.

Rasanya sudah cukup lama mobil menanjak, tapi kami belum menepi juga.

"Kita mau ke mana, ya? Dari tadi rasanya masih ada banyak spot kosong di kiri kanan jalan," tanyaku mengedarkan pandangan.

"Mau ke puncak bukit itu," tunjuk Yoga ke atas bukit, yang jaraknya sudah tidak terlalu jauh dari posisi kami.

Tiba-tiba terdengar suara letusan. Kami berdua terkejut. Ternyata ban mobil melindas sesuatu yang keras dan tajam. Karena memang gelap, Yoga tidak melihat rintangan apapun di jalanan. Kami segera menepi dan turun dari mobil. Ternyata benda itu adalah batu tajam yang entah bagaimana tertancap masuk ke jalanan yang berlubang.

Yoga sedang memeriksa kondisi ban. "Ah! Sial!" misuh Yoga.

"Kenapa?" tanyaku mendekat.

"Batu itu tajam banget. Ban setebal ini sampai pecah!" kata Yoga sambil merogoh kantung celana dan menghubungi seseorang lewat ponselnya.

"Kalian di mana?" tanya Yoga, sepertinya pada pengawalnya, tebakku.

"Masih kena macet? Gimana, sih? Apa gak bisa lewat jalur lain?" tanya Yoga kesal.

"Carikan aku ban serep! Aku gak bawa. Banku pecah. Aku sudah di Bukit Perkemahan!" titah Raja Yoga, seperti biasa.

"Ya sudah. Eh! Bentar ... kalian ke sininya nanti aja deh. Dua jam lagi," kata Yoga, membuatku mengernyit heran. Kenapa dua jam lagi? batinku.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang