.
.
Aku ingin sembuh!
Wahai Engkau Yang Maha Menyembuhkan, sembuhkanlah hatiku!
.
.
***
Hari ke-11 suluk ...
"Awas, hati-hati. Ingat, Ustaz Umar bilang, jangan terlalu sering menggerakkan punggungmu," kata Rizky.
"Iya. Terima kasih, Ky," ucap Yoga.
Rizky baru saja mengantar seorang pasien rawat jalan bernama Yoga, untuk duduk bersila di gazebo. Yoga melanjutkan kegiatan zikirnya yang sempat berantakan setelah tuan muda itu terjatuh dari atas pohon.
"Kalau begitu, aku ke masjid dulu, ya. Kalau perlu bantuanku, kamu bisa titip pesan ke siapa pun yang melintas di sekitar sini," pamit Rizky.
Yoga tersenyumn tulus. Bekas-bekas goresan ranting masih nampak di kulit wajah dan tangannya.
"Oke. Maaf aku merepotkanmu. Aku juga membuatmu susah dengan menyeretmu dalam rencana bodohku. Semoga itu adalah rencana bodoh terakhir yang pernah kulakukan dalam hidupku," Yoga tergelak setelah mengatakannya. Meski demikian, ekspresi rasa bersalah tetap tergambar jelas di sorot matanya.
"Aku ... maaf aku telah membuang waktumu. Waktu zikirmu jadi berkurang karena mengurusi orang seperti aku," kata Yoga dengan suara pelan seperti bergumam.
Alis Rizky berkerut heran mendengarnya. Dia bisa merasakan nada sedih dalam suara temannya barusan.
Rizky menepuk pelan pundak Yoga. "Santai saja, Yoga. Kamu temanku. Sewajarnya menolong teman yang sedang sakit. Dan kesalahanmu kemarin itu, aku juga ikut salah. Semestinya aku melarangmu waktu itu. Semuanya sudah terjadi. Jangan dipikirkan lagi. Sekarang, kamu harus jaga kondisimu supaya bisa pulih sepenuhnya dan bisa fokus menjalankan suluk."
Yoga mengangguk. Merasa beruntung dirinya ada di antara orang-orang yang perduli padanya. Bukan di antara orang-orang individualis yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Tak lama mereka berpisah. Rizky sudah berjalan ke arah masjid.
Tangan Yoga menutup kelambu di sekelilinģ gazebo. Memejamkan mata. Meresapi suara percik air di kolam dan cicit burung di pepohonan.
Hatinya bersyukur. Dia merasa cukup dengan yang dilimpahkan Tuhan padanya. Tidak, sesungguhnya selama ini Tuhan telah memberinya lebih dari sekadar cukup. Dialah yang kurang bersyukur. Terlalu sering mengeluh. Selalu lebih fokus pada apa-apa yang kurang, atau pada apa-apa yang tak sesuai dengan maunya.
Napas dihembuskan perlahan. Dia memberi waktu beberapa saat dengan tafakur. Merenungi kesalahan-kesalahan yang dibuatnya sejak menginjakkan kakinya di tempat Suluk ini. Tempat yang mulia, di antara orang-orang alim dan orang-orang pencari ketenangan. Akan tetapi selama berada di sini, dia tidak menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya. Sungguh ... sepuluh hari telah berlalu, dan orang seperti dirinya rupanya perlu nyaris mati terlebih dahulu, untuk menyadari betapa dia telah menyia-nyiakan waktunya yang berharga di tempat ini. Waktu yang tak bisa ditukar sekali pun dia menggadaikan seluruh perusahaan Danadyaksa, ataupun seluruh harta di dunia. Sebab, sepuluh hari itu telah berlalu dan tak akan kembali.
Waktu, sebuah ukuran yang paling mahal harganya. Tapi manusia makhluk yang alpa dengan kesadaran akannya. Melewati begitu saja hari demi hari, membuang detik demi detik dari jatah nyawa. Mengisinya dengan hal-hal yang tak menambah kepahamannya akan Dia Yang Menciptakannya. Dia Yang memberinya tujuan hidup di muka bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
EspiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...