Bagian 81 (Suluk)

1.1K 83 25
                                    

.

.

"Wahai langit, turunkan susu. Anak Abdullah akan memasuki kota Aden."

.

.

***

Sesi ceramah oleh Syeikh Abdullah masih berlangsung. Para jamaah khusyuk mendengarkan.

"Dahulu ada seorang saleh bernama Abu Bakar Al Adni. Beliau berasal dari keluarga kaya dan terpandang, dan memiliki nasab mulia yang tersambung dengan Rasulullah Saw. Namun demikian, beliau tidak pernah menyombongkan diri dengan segala kelebihan yang dimilikinya.

Keluarga beliau memiliki banyak harta dan terkenal dermawan. Sedemikian banyak sehingga jika datang hari Maulid Nabi Muhammad Saw, mereka membagikan daging 40 ekor kambing ke setiap orang alim yang diundang (bisa ada sekitar 50 orang alim tiap tahunnya).

Di saat teman-teman sebayanya sibuk menimba ilmu, Abu Bakar Al Adni justru tinggal di rumah merawat ayahnya yang sakit. Suatu hari dia minta ijin pada ayahnya untuk pamit pergi nyantren ke Aden, Yaman.

'Baiklah, kamu akan kuizinkan belajar ke Aden, dengan satu syarat. Bawa kemari satu orang yang akan menggantikanmu untuk merawatku. Carilah orang yang derajatnya lebih rendah darimu.'

Beliau keluar rumah. Di jalan, beliau bertemu dengan sekumpulan orang alim. 'Ah...tidak mungkin ... derajat mereka pastilah lebih tinggi dariku. Mereka orang-orang ahli ibadah dan berpendidikan, sementara aku?'

Dia terus berjalan dan bertemu dengan teman-teman sebayanya. 'Mereka juga tidak mungkin lebih rendah dariku. Mereka lebih dulu menjadi santri, sementara aku?'

Beliau melewati mereka dan kemudian melihat seorang kuli. 'Nah....apa mungkin kuli ini lebih rendah dariku?' Tapi kemudian dia berpikir, seandainya nanti kuli ini meninggal husnul khotimah, lalu dia tidak, maka derajat kuli itu lebih mulia darinya.

Dia mengurungkan niatnya dan lanjut berjalan. Saat melihat orang-orang kafir, beliau berpikir. 'Apa mereka lebih rendah dariku?' Tapi setelah merenung, beliau menjadi ragu. Saat ini mereka memang masih kafir. Tapi jika Allah memberi mereka hidayah, dan di akhir hayatnya, mereka meninggal dalam keadaan iman, sementara dia tidak yakin seperti apa akhir hidupnya. Bisa jadi mereka justru lebih mulia darinya.

Abu Bakar Al Adni menjadi semakin bingung. Dia melihat seekor anjing. ' ... apa ... anjing lebih rendah dariku?' Namun dia kembali ragu. Jika kelak di akhirat beliau gagal menyeberangi jembatan siratal mustaqim, dia bisa saja jatuh ke lubang neraka. Sementara ruh para hewan setelah qishash akan dikembalikan menjadi tanah. Bisa jadi anjing itu lebih mulia darinya.

Akhirnya dia kembali pulang ke rumah dan bicara pada ayahnya, 'Baiklah ... aku menyerah. Aku tidak punya harapan untuk belajar ke Aden.'

'Kenapa?' tanya ayahnya.

'Aku tidak menemukan satu orangpun yang derajatnya lebih rendah dariku. Bahkan anjing sekalipun'.

Ayahnya tersenyum. 'Pergilah kau ke Aden.'

Abu Bakar Al Adni terkejut.

'Aku hanya mengetesmu. Seandainya kamu pulang ke sini membawa satu orang, siapapun dia, kamu tidak akan kuizinkan menjadi santri dengan kesombongan di dalam hatimu.'

Sebegitu tawadhunya beliau, hingga tak pernah merasa dirinya lebih baik, sekalipun dibandingkan dengan seekor anjing."

Kisah yang luar biasa itu membuat jamaah terkagum-kagum. Terdengar sebagian dari mereka mengucap nama Allah. Sementara Yoga sampai ternganga mendengar kisah itu. Kedua alisnya mengkerut. Sungguhkah ada manusia dengan sifat seperti itu?? Jika bukan karena Syeikh Abdullah yang menceritakannya langsung, dia mungkin tak akan percaya. Saat melihat pada dirinya sendiri, sudah barang tentu dia melihat level-nya lebih tinggi dari kebanyakan orang. Bagaimana bisa orang itu bahkan tak punya percaya diri sama sekali bahkan saat membandingkan dirinya dengan seekor anjing?? Kisah itu jelas mengguncang hatinya. Walau dia masih tak bisa membayangkan sudut pandang orang saleh yang dikisahkan Syeikh. Dia belum bisa membayangkan dirinya memiliki perangai seperti itu.

"Walhasil, Abu Bakar Al Adni berangkat menaiki kapal laut, menuju pulau Aden. Sesampainya di tepi pantai, rupanya gurunya sudah menunggu kedatangannya. Padahal tak ada seorangpun yang tahu kalau dia bermaksud menjadi santri di pulau itu, dan pada saat itu tak ada seorang pun yang mengenal beliau di pulau Aden.

Rupanya sang guru sudah tahu bahwa hari itu dia akan kedatangan seorang murid yang istimewa. Murid yang kelak akan menjadi seorang wali Allah. Guru beliau berkata, 'Jika kamu memang calon muridku yang diilhamkan kepadaku, berilah tanda agar aku yakin.'

Bayangkan, seorang yang baru saja tiba di sebuah pulau, disambut oleh orang yang akan menjadi gurunya, dan gurunya itu meminta tanda padanya. Dalam kondisi normal, siapapun jika berada dalam posisi beliau akan bingung.

Tapi tidak dengan Abu Bakar Al Adni. Beliau menengadahkan tangannya ke langit dan berkata, "Wahai langit, turunkan susu. Anak Abdullah akan memasuki kota Aden."

Seketika turun hujan susu dari langit di kota itu.

Perhatikan bagaimana tawadhu-nya beliau. Bahkan di dalam do'a, beliau tidak berkata 'Aku akan memasuki kota Aden.' Melainkan 'Anak Abdullah akan memasuki kota Aden.' Beliau berusaha menghindar dari sifat sombong atau berbangga diri, dan alih-alih menggunakan namanya, beliau menggunakan nama ayahnya, Abdullah.

Setelah peristiwa itu, beliau belajar sebagai seorang santri, kemudian tumbuh menjadi seorang saleh yang berilmu. Nama beliau banyak dikenal orang. Nama Abu Bakar Al Adni sendiri, sebenarnya bukan nama asli beliau. Adni diambil dari nama pulau Aden. Jadi, beliau seolah menjadi tokoh yang mewakili pulau itu.

Ketika beliau menjadi seorang ulama besar, dikisahkan suatu ketika pulau Aden dikepung oleh pasukan komunis. Saat itu beliau sedang mengajar. Tiba-tiba seseorang melaporkan pada beliau, bahwa Aden dikepung oleh 20 kapal tempur besar milik komunis.

Beliau mengambil siwak miliknya, lalu mencelupkan siwak itu ke dalam gelas berisi air, sebanyak 19 kali. Di saat bersamaan, 19 kapal milik komunis itu tenggelam. Beliau sengaja menyisakan 1 kapal, agar 1 kapal itu bisa pulang kembali ke daerah asalnya untuk melapor ke markas." (1)

Terdengar suara jamaah menyerukan 'Masya Allah' dan 'Allahu akbar' karena ketakjuban mereka.

Sepasang mata Yoga melotot. Dia pernah mendengar sebelumnya dari pimpinan Majelis di Jakarta, bahwa jika Allah mencintai seorang hamba, sang hamba itu akan diberi hal-hal yang di mata orang normal, adalah sesuatu yang luar biasa. Bahkan ketika sang hamba tersebut sebenarnya tidak menginginkannya. Karena tujuan hamba itu adalah untuk mendapatkan cinta-Nya. Dan bukan yang lainnya. Saat beliau mengatakan itu, hatinya tergerak, walaupun sungguh, dirinya merasa masih sangat jauh jika dibandingkan dengan hamba yang mulia itu.

Syeikh tersenyum ke arah jamaah. "Semoga kita bisa meneladani ke-tawadhu-an Abu Bakar Al Adni. Amin Allahuma amin."

.

.

***

Catatan kaki :

(1) Kisah ketawadhu-an Habib Abu Bakar Al Adni, disampaikan oleh Ustadzah Fatimah Jindan.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang