.
.
Aku benar-benar tidak mengerti. Dia dikelilingi perempuan-perempuan secantik itu.
Kenapa aku? Dan kenapa mendadak?
Otaknya mungkin sudah error.
.
.
***
10 tahun yang lalu ...
Aku masih ingat hari dimana Yoga menyatakan perasaannya padaku. Hari itu sekaligus adalah hari pertama aku bicara dengannya. Aneh bukan? Biasanya 'kan normalnya orang tuh pdkt (pendekatan) dulu, baru 'nembak'.
Selama 2 tahun di SMA, aku cuma kenal wajah Yoga saja. Itu pun karena anak-anak perempuan sering sekali membicarakan dia. Anak laki-laki paling ganteng yang pernah mereka lihat, kata mereka. 'Stok ganteng' di sekolah lain di sekitar sekolah kami pun, menurut mereka lagi, belum ada yang menyamai kegantengan Yoga.
Berlebihan banget menurutku. Walaupun secara fisik dia memang terlihat oke, tapi setiap aku berpapasan dengannya di kantin, kesan yang kudapat darinya adalah laki-laki berambut gondrong yang arogan, sombong, dan angkuh.
***
"Erika, ada titipan buatmu," kata seorang anak laki-laki yang mencariku ke dalam kelas. Rambut anak itu agak ikal. Berkulit sawo matang. Badannya lebih tinggi sedikit dariku. Dari cara bicaranya, aku merasa dia orang yang santun. Sebelumnya, anak ini sudah memperkenalkan dirinya sebagai Gito. Aku mengenali wajahnya. Dia sepertinya adalah teman dekat dari anak populer yang namanya Yoga. Di kantin, Yoga biasa dikelilingi oleh banyak teman. Tapi yang bernama Gito ini kelihatannya beda. Dia lebih sering terlihat bareng Yoga, ketimbang anak-anak yang lain.
Aku menerima amplop yang diberikan Gito.
"Ini ... apa ya?" tanyaku.
Gito tersenyum. "Kamu baca aja. Dia menunggumu setelah bel pulang sekolah, di taman belakang," jawab Gito.
Alisku masih berkerut memandangi amplop itu. "Oke. Makasih, Gito." Gito permisi keluar kelas.
Aku membuka amplop itu. Tulisan di secarik kertas polos di dalamnya ditulis dengan tinta biru.
Erika,
Aku menunggumu di bangku taman belakang, setelah bel pulang sekolah.
Datanglah sendirian.
Yoga
Apa ini? Surat ini bahkan tidak ada salam pembuka dan salam penutupnya. Lebih mirip surat ancaman. Mirip ...
Datanglah sendirian. Kalau kamu mau selamat.
Erika berpikir. Tunggu dulu ... ini Yoga yang mana, ya? Yoga yang 'itu' 'kan? Yang anak basket? Yang di gila-gilai teman-temanku? Atau ada Yoga yang lain? Rasa-rasanya di sekolah ini yang namanya Yoga cuma satu. Tapi aku tidak merasa punya urusan dengannya. Bicara pun belum pernah. Ada apa ya?
Pikiranku sibuk hingga akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Aku merapikan isi tasku dan menghampiri Ratih.
"Tih, kamu duluan aja ya ke tempat les," kataku.
Ratih nampak heran. "Gak bareng? Kamu mau ke mana?" tanya Ratih.
"He he ... aku ada urusan bentar. Ntar aku nyusul, oke? Bye!" jawabku sambil mundur selangkah demi selangkah. Aku tidak begitu bisa berbohong atau menutup-nutupi sesuatu. Mesti ketahuan. Makanya, mending kabuuur!
Ratih memandangiku dengan tatapan curiga, tapi aku sudah keburu jauh. Beberapa menit kemudian, aku sudah sampai di taman belakang. Taman ini memang relatif sepi. Hanya ada beberapa anak latihan pencak silat, tapi itu pun agak jauh dari bangku kayu, tempat dimana Yoga sedang duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritüelJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...