.
.
"Selamat datang kembali. Sulit bukan membedakan mana yang nyata dan mana yang fana?"
.
.
***
"Allaaahu akbar!" takbir ke-4 dipekikkan oleh Syeikh Abdullah. Takbir salat jenazah untuk jasad bernama Yoga Pratama.
Yoga terdiam dalam kebimbangan. Menyaksikan mayat dirinya disalatkan, terasa mengerikan.
"Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh," Syeikh menolehkan kepalanya ke bahu kanan. Lalu kembali mengucap salam ke bahu kiri. Diikuti oleh para jamaah.
Syeikh mengangkat kedua belah tangannya dan memimpin do'a. Di setiap akhir kalimat do'a, diaminkan oleh para jamaah.
Tak lama, dua orang pria memasuki pintu depan sambil membawa keranda mayat. Yoga memperhatikan tiap sudut keranda itu, yang berbentuk setengah lingkaran, terbuat dari rangka besi putih. Seorang lagi mengekor di belakang mereka, membawa kain penutup keranda berwarna hijau bertuliskan kaligrafi kalimat syahadat.
Tak lama kemudian, tubuhnya yang sudah mati diangkat ke atas keranda, dan ditutupi dengan kain. Keranda dipanggul oleh empat laki-laki, tiga di antaranya adalah Ustaz Umar, Gito dan Rizky. Seorang lagi adalah sepupu Yoga dari keluarga ayahnya. Mereka mengucap basmallah sebelum berangkat keluar.
Tunggu! Ke mana mereka akan membawaku? Kuburan??
Kenapa Syeikh tadi tidak menjawabku?? Aku harus bertanya sekali lagi.
Dia berusaha bicara, tapi hal yang sangat aneh terjadi. Dia tak bisa lagi merasakan pita suara, otot pipi, lidah, bibir dan bahkan seluruh tubuhnya! Seolah tubuh dan kesadarannya terpisah.
Kepanikan mulai menjalar di dalam benak, satu-satunya yang masih berfungsi dari dirinya. Suara zikir teman-teman suluknya kini sudah tak terdengar lagi. Kenyataan itu melengkapi rasa takutnya.
Syeikh!!! Apa yang terjadi?? Kenapa aku tidak bisa bicara?? Syeikh!!
Rombongan pelayat mengekor keranda yang diangkat menuju pemakaman. Lidah mereka tak lepas dari zikir.
Matahari tepat di atas kepala. Tapi langit agak berawan, sehingga hawa tak terlalu panas di kulit.
Ketika tiba di pekuburan, petugas kubur sudah menyambut kedatangan mereka. Liang kubur sudah siap. Tanah berwarna merah pekat, terbuka menganga lebar. Perut bumi bagai membentangkan tangannya, siap menyambut jenazah.
Dana dipersilakan turun ke dalam liang lahat. Ustaz Umar dan Gito ikut turun, menerima jenazah Yoga dan membaringkannya menghadap kiblat.
Ustaz Umar mengangkat tangannya, bibirnya bergerak-gerak. Berdo'a dengan khusyuk untuk anak didiknya yang telah dianggapnya seperti anak kandung sendiri.
Sementara Dana tampak masih berat menerima kenyataan. Saat jasad Yoga dibaringkan menyentuh tanah, dia memeluk anak tunggalnya itu agak lama. Orang-orang yang menyaksikan tak mampu menahan air mata.
Gito menghampiri pria itu yang sedang membungkuk merangkul anaknya untuk terakhir kalinya.
Dengan berderai air mata, dia berusaha membujuk Dana untuk keluat dari liang lahat. "Om ... sudah, Om. Kita harus merelakan Yoga. Sesayang apa pun kita padanya, kita harus yakin, bahwa Allah jauh lebih sayang padanya. Kita do'akan saja Om, supaya Yoga diberi kemudahan di kehidupan akhiratnya. Ayolah, Om. Kita naik sekarang, supaya Yoga bisa segera dikubur."
Pria itu menggelengkan kepala. "Enggak! Gimana kalau ternyata dia masih hidup? Gimana kalau kita keliru menyangka dia sudah mati?? Om mau di sini saja! Kalau mau kubur, kubur saja Om sekalian!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
EspiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...