.
.
Telah sampai pada kami bahwa do'a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan jelek (haram) yang ia konsumsi.
~ Yusuf bin Asbath
.
.
***
Yoga mematutkan dirinya di depan cermin. Tangannya menyentuh ujung rambutnya yang kini pendek. Walau dia suka dengan model rambutnya yang baru, tapi sebenarnya dia jauh lebih suka berambut panjang.
Dulu saat bersama Erika, adalah saat dimana rambutnya paling gondrong. Lalu setelah mereka putus, dia segera memangkasnya pendek, dan setiap kali rambutnya mulai bertumbuh, dia buru-buru memotongnya. Hanya karena kuatir teringat kebersamaannya dengan Erika setiap kali bercermin.
Dan sekarang, tak ada alasan untuk tidak memanjangkan rambutnya. Hatinya tak lagi sakit setiap nama Erika terdengar di telinganya. Dia bahkan menamai kucingnya dengan nama itu. Erika. Nama yang sekali pun telah dia relakan, tetap menduduki peran penting dalam hidupnya.
Dia tersenyum tenang. Mantap memutuskan akan memanjangkan rambutnya seperti dulu. Gondrong? Siapa takut?
***
Kakinya melangkah ke ruang makan. Ayahnya tengah duduk di kursi makan, dengan menu sandwich di piringnya. Dana melihat putranya yang sudah tampak rapi dengan kemeja putih dan dasi bermotif batik monokrom, celana hitam dan jas hitam disampirkan di lengannya. Tampak begitu gagah dan profesional.
"Yoga, sarapan dulu," ajaknya sambil menyeruput cangkir kopi.
Dia melempar senyum pada Ayahnya. Salah satu perubahan Yoga yang ditandai olehnya. Sejak kembali dari masa 'bertapa'nya, Yoga jadi lebih sering tersenyum. Senyum yang tulus dan membuat tenang hati orang yang memandangnya. Seolah senyum itu seperti warisan dari seseorang. Yang jelas bukan darinya, yang nyaris selalu tegang otot wajahnya. Sebab begitulah Dana diajarkan. 'Jika kita terlalu sering tersenyum, kita akan kehilangan wibawa.' Tapi anehnya, dia tidak merasa cara Yoga tersenyum menghilangkan wibawanya.
"Aku sedang puasa. Ayah makan saja. Aku mau menyiapkan oleh-oleh untuk kubawa ke kantor."
Dana mengernyit heran. "Puasa? Ramadhan masih lama kan?"
"Puasa sunnah Senin-Kamis. Aku berangkat dulu ya Yah. Assalamualaikum," salam itu diucapkan sembari mencium tangan Ayahnya. Membuat Dana merasa agak kikuk. Masih belum terbiasa dengan salam penghormatan semacam itu.
"Wa alaikum salam. Hati-hati ya. Sampai ketemu di kantor."
"Iya. Ayah juga ya nanti, hati-hati berangkatnya."
Mereka berpisah. Dana berhenti mengunyah sandwich. Tangannya mengusap dada. Perasaan hangat mengalir di dalamnya. Kepalanya tengadah sedikit, dengan alis berkerut, berusaha menebak perasaan apa yang dia rasakan barusan.
Jelas sesuatu yang belum dipahaminya. Perasaan hangat saat berinteraksi dengan anak sholeh/sholehah. Harta yang tak ternilai harganya.
***
Yoga berjalan menuju area parkir. Menemukan Riko dan Patar sedang duduk tak jauh dari mobil jeep hijau yang disewa khusus untuk menjemputnya di tempat Suluk.
"Assalamualaikum," sapanya pada mereka.
Kedua supirnya tampak sumringah melihat wajah cerah Tuan Mudanya. Keduanya berdiri dengan posisi siap diperintah."Wa alaikum salam Tuan Muda."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
EspiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...