.
.Lapar adalah latihan pencinta bagi para murid, cobaan bagi yang bertaubat, derita bagi penolak dunia, dan tanda kemuliaan bagi para ahli makrifat.
~ Yahya bin Muadz.
.
.***
Hari ke-3 Suluk di pasar ...
Kedua matanya terbuka. Langit masih gelap. Belum ada tanda-tanda akan dikumandangkannya adzan Subuh. Yoga menutup mulutnya yang sedang menguap. Saat menoleh ke samping, dia syok melihat sebentuk buntalan bulu putih di sebelah kirinya. Rupanya kucing putih itu semalaman tidur di sebelahnya.
Dia berdiri dan melangkahkan kaki ke arah masjid, sambil bersenandung riang.
Hari ini hari terakhir Suluk di tempat ini. Yes!
Tak sabar rasanya. Dia ingin segera membenahi potongan rambutnya! Rambut acakadulnya ini menimbulkan tekanan batin yang cukup mengganggu, sungguh.
Setelah salat tahajud, dia kembali ke pasar dan meneruskan amalan paginya di bawah pohon. Di waktu Dhuha, seperti biasa dia berpindah tempat di bawah naungan terpal, melanjutkan zikirnya. Usai Dzuhur, perutnya mulai keroncongan seperti biasa. Sebenarnya rasa lapar sudah mulai dirasakannya di waktu pagi. Pagi yang biasanya adalah saat di mana perutnya selalu terisi dengan sarapan.
Yoga menoleh ke arah lapak Bapak berkepala plontos yang dia tak tahu siapa namanya. Lapak itu masih tutup. Sementara lapak temannya yang biasa mengobrol dengannya, buka. Dia cemas. Apa kiranya yang tengah terjadi pada sang Bapak berkepala plontos? Apakah ada sanak keluarganya yang sakit atau meninggal dunia? Sudah barang tentu dia tak bisa bertanya pada siapa pun, dalam kondisinya saat ini.
Dia menghela napas. Menahan sabar. Berharap setelah Suluk berakhir, dia bisa kembali lagi ke pasar. Banyak hal yang ingin dilakukannya. Sederet daftar sudah ada di kepalanya.
Kruyuukk ... Tangannya memegang perut. Sabar ... sabar. Hari ini hari ke-3!! Insyaallah aku akan survive!!
Sungguh ucapan Ustad Umar benar adanya. Seperti Allah memeliharanya sejak dia lahir ke dunia, seperti Allah memberinya makan hingga dirinya menjadi laki-laki dewasa, demikian juga Allah lah yang memberinya makan tiga hari di pasar ini. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Jam, menit, detik berlalu. Langit mulai kembali gelap menjelang Maghrib. Kruyuukk ... Gruukkk ... !! Perutnya kini sudah bukan keroncongan lagi, tapi bak konser berbagai aliran musik. Dia menghela napas berat.
Suara speaker masjid dinyalakan. Yoga refleks menoleh ke arah pucuk atap masjid. Masyaallah ... sudah Maghrib?
"Allahu akbar. Allaaaahu akbar," suara adzan berkumandang, bersenyawa dengan udara lingkungan pasar. Menggerakkan langkah sebagian pedagang menuju masjid.
"Allahu akbar. Allahu akbar," ucap Yoga menjawab panggilan salat. Dia menjawab tiap kalimat adzan hingga usai. Tak lama jamaah merapatkan shaf dan suara imam terdengar melalui speaker masjid, memimpin salat.
Kecemasan mulai menjalar di diri Yoga. Jam berapa Ustad Umar dan Mahzar akan menjemputku di sini? Bukankah ini sudah hari ke-3?Selepas salat jamaah, satu per satu pedagang kembali ke gerobaknya masing-masing yang rata-rata diparkir di pelataran pasar. Setelah memastikan masjid sepi, Yoga mengendap ke tempat wudhu dan salat Maghrib sendiri.
Saat kembali ke pasar, seorang pria tak sengaja menyenggol pundaknya. Mereka bertemu pandang. Pria berambut cepak yang lebih pendek darinya itu sedang berdiri bertolak pinggang. "Heh gila! Pake mata kalau jalan! Memangnya ini jalan nenek moyangmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpirituellesJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...