.
.
"Bangun, tukang tidur! Mandi taubat, wudu, salat hajat, salat tahajud. Jangan jadi muslim KW!"
.
.
***
Mereka berdua sudah berada di dalam sebuah ruangan besar yang memanjang. Kasur-kasur bertingkat dua tersusun di kiri kanan ruangan, membentuk jalur untuk berjalan di sisi tengah ruangan.
Mata Yoga memicing sambil bertolak pinggang. "APA INI?? Aku harus tidur di BARAK seperti ini??"
Yoga memutar tubuhnya ke belakang, menghadap seorang santri yang baru saja dipanggilnya di koridor. "Apa tidak ada kamar khusus?? Aku akan bayar berapa pun! Aku gak mau tidur di barak seperti ini!"
Santri itu memasang ekspresi heran yang sama dengan para peserta suluk lainnya yang ada di dalam ruangan itu. "E-Enggak ada, Pak. Semua peserta tidurnya di sini."
Terdengar bisik-bisik di antara para peserta yang masing-masing sedang berleha-leha di atas kasur mereka.
"Siapa sih?"
"Gak tau. Orang kaya pastinya. Dia ogah banget kayaknya tidur bareng kita-kita."
"Sombong amat."
Sementara Rizky setengah mati menahan rasa malu. Dia memang tidak pernah cerita pada temannya itu, kalau mereka akan tidur bersama-sama dalam satu ruangan besar seperti barak. Karena dia tak pernah menyangka tuan muda yang satu ini akan mempermasalahkannya.
Memangnya, dia kira ini hotel? batin Rizky.
"Apa benar-benar tidak ada satu ruangan lain yang bisa jadi kamar tidur sendiri?"
"Benar-benar gak ada, Pak."
Rizky menghela napas, meletakkan tas ranselnya di atas kasur dan duduk santai, mengistirahatkan hatinya.
.
.
Ustaz Umar baru saja usai membahas urutan kegiatan suluk bersama Syeikh Abdullah. Ustaz mencium punggung tangan Syeikh dan berjalan ke arah pintu. Saat akan menggeser pintu, Syeikh memanggilnya. "Sebentar Umar."
Pria itu membalik tubuhnya menghadap gurunya. "Ya, Syeikh?"
Lelaki tua itu tersenyum. "Khusus untuk satu peserta Suluk yang bernama Yoga Pratama, tolong kamu awasi dan bantu dia. Peserta baru yang selain dia, biar ditangani Ustaz lain. Tapi khusus Yoga, saya minta kamu langsung yang tangani dia."
Alisnya berkerut. "Maaf, apa saya boleh tahu, kenapa Syeikh menugaskan saya untuk fokus padanya?"
Syeikh tersenyum lebar. "Karena dia bukan peserta suluk biasa. Dia adalah orang yang nantinya insyaallah akan memegang peran besar dalam dakwah kita."
Pernyataan itu sukses membuat Ustaz Umar berdiri terpaku di tempatnya, dengan mata tak berkedip. Berusaha memahami kalimat itu. 'Orang yang nantinya akan memegang peran besar dalam dakwah??' Bayangan wajah Yoga yang angkuh mendadak muncul di ingatannya. Melihat gayanya saja dia sebal.
DIA?? Nantinya akan berperan besar dalam dakwah?? Benarkah?
Ustad Umar menelan ludah. Puluhan tanya terasa ingin menyeruak keluar dari bibirnya, tapi dia telan semuanya itu. Jika Syeikh sudah memutuskan, maka sebagai murid yang baik, dia tidak berani membantah. "Baik Syeikh."
.
.
Setelah perdebatan panjang, akhirnya Yoga dengan terpaksa tidur di ruangan yang disebut barak itu. Dia tidur di sebelah kasur Rizky. Sempat susah tidur karena baru kali inilah dia tidur dengan kasur busa. Setelah seumur hidupnya dia terbiasa tidur dengan spring bed kualitas premium. Gelisah dan membolak-balikkan tubuhnya ke kiri dan kanan, namun akhirnya dia tidur juga menjelang tengah malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...