.
.
Berikan aku tanda, Erika.
Berikan aku tanda!.
.
***
"Yoga?" panggil Erika. Heran mengapa Yoga tidak sanggup meneruskan kalimat itu?
'Waktu kita dulu masih pacaran'. Kenapa? Apa itu sangat sulit diucapkan?
Yoga terkesiap mendengar namanya disebut oleh perempuan yang masih sangat dicintainya.
"Erika, apa kamu benci aku?" tanya Yoga dengan nada sedih pada suaranya.
Pertanyaan itu membuat Erika terkejut. "Benci?? Aku gak pernah benci sama kamu," jawab Erika tanpa jeda.
Yoga merasa lega mendengarnya. Dia tersenyum dan menatap Erika dengan sorot mata lembut.
Kalau begitu, apa masih ada sisa cinta untukku? pertanyaan berikutnya yang tersimpan rapi dalam benak Yoga, dan tak mungkin diucapnya.
Erika terdiam melihat cara Yoga menatapnya. Sorot penuh kelembutan itu memerangkapnya, membuat hatinya kelabakan untuk berpaling.
Kenapa kamu melihatku seperti itu? Yoga? Jangan bilang kamu masih -- Tidak mungkin, 'kan? Selama ini tak pernah sekalipun kamu berusaha menghubungiku lagi. Dan cerita-cerita itu -- Kamu sudah berhubungan dengan banyak wanita selain aku, setelah kita berpisah. Kamu sudah melupakanku, kan, Yoga? Belasan tanya mendesak dada Erika. Menyiksa. Kesemuanya tentunya harus dikurungnya rapat-rapat.
Bibir Yoga bergerak, tapi tak ada satu pun kata yang keluar.
Berikan aku tanda, Erika. Berikan aku tanda! Aku di sini untukmu. Apa kamu masih mencintaiku? Sedikit saja. Sedikit saja sudah cukup untukku.
Cara Yoga menatapnya membuat Erika merasa ingin menangis. Menerbangkan ingatannya akan masa-masa terberat dalam hidupnya, saat berusaha melupakan Yoga. Sempat terlintas di pikirannya saat itu. Mungkinkah dia sudah membuat kesalahan besar? Mungkinkah seharusnya dia tidak memutuskan hubungan mereka? Erika tidak pernah menyangka, berusaha melupakan Yoga akan jadi seberat itu. Dan sekarang Yoga ada di sampingnya. Aroma tubuhnya masih sama. Woody bercampur citrus. Aroma yang dia rindukan.
Yoga, kenapa kita jadi seperti ini sekarang? Bibir Erika bergerak, seolah pertahanan dirinya akan runtuh sesaat lagi.
Pupil mata Yoga mengecil saat melihat tanda itu di mata Erika. Dia masih mengenalinya.
Kamu masih mencintaiku, Erika? Benarkah ini?? Setelah sepuluh tahun?
***
Yoga segera berusaha mengendalikan perasaannya. Air matanya nyaris tumpah. Dia menundukkan pandangan dan menelan saliva. Andai tak ada orang lain di ruangan ini, mungkin dia sudah memeluk Erika.
"Oh ya, Erika. Ini kartu namaku," ucap Yoga merogoh isi dompetnya.
Erika spontan menerima kartu berwarna hitam itu.
"Aku sudah mengganti nomorku. Itu nomorku yang baru. Siapa tahu -- emm -- yah, siapa tahu kamu suatu saat perlu menghubungiku. Kamu bisa hubungi aku kapan saja, kalau kamu perlu bantuan," ujar Yoga salah tingkah.
"Bantuan?" tanya Erika heran.
"Eh ... ya, maksudku -- apa saja. Kalau kamu perlu aku, aku akan ada untukmu," jelas Yoga.
"Oke," sahut Erika singkat, masih sambil mereka-reka jawaban multi tafsir Yoga. Erika memasukkan kartu itu ke dalam dompetnya.
Mereka sempat terdiam sebelum Yoga bertanya, "gimana kabar Ibumu, Erika?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
ДуховныеJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...