Bagian 43 (Hari yang baru)

1.1K 78 4
                                    

.

.

Itu adalah kepedulian tertinggi seseorang kepada kita. Saat dia mendo'akan kebaikan kita, tanpa sepengetahuan kita.

.

.

***

Jum'at jelang siang, pintu ruangan Yoga diketuk.


"Ya?" sahut Yoga.

Terdengar suara Mieke. "Pak Yoga, Pak Gito sudah datang."

"Ya. Tolong persilakan dia masuk," kata Yoga.

Pintu terbuka. Gito masuk ke dalam ruangan Yoga. "Assalamualaikum," sapanya.

"Wa alaikum salam. Masuk, To." Yoga berdiri dari kursinya. Dia memang sudah bersiap sejak tadi.

Gito berdiri terpaku menatap Yoga, seolah dia melihat alien. Benarkah ini Yoga?  batinnya. Yoga memakai baju koko putih dan celana panjang putih. Ada garis hitam di ujung lengan, garis kerah baju dan garis tengah kancing hingga setengah dari panjang baju. Di sisi kanan bajunya ada ukiran klasik berwarna coklat. Baju itu terlihat pas di tubuh Yoga yang tinggi, dan dengan wajah tampannya, Yoga nampak seperti seorang model baju muslim kelas internasional.

Yoga menoleh ke arah Gito yang tubuhnya seolah membeku tak bergerak. "Kenapa kamu? Kayak lihat hantu aja."

"Enggak. Cuman, kamu kelihatan ... lain," jawab Gito, sempat bingung dengan kata apa dia bisa mewakilkan kesan tak biasa ketika melihat sahabatnya hari ini.

Tangan Yoga menyentuh ujung bajunya. "Maksudmu baju ini? Aku dikasih baju ini dari rekan kerjaku. Apa aku pantas pakai baju ini?"

"Pantas? Kamu pakai apa aja pantas. Nih, kukasih tau, ya. Kalau seandainya kamu pakai baju compang camping, kamu tetap akan kelihatan keren, dan orang akan berpikir, baju compang camping adalah trend masa kini. Trust me!" ujar Gito mengacungkan jempol.

Yoga tertawa. "Lebay banget."

"Eh beneran, tau," tukas Gito sebelum memperhatikan Yoga yang sedang celingukan mencari sesuatu. "Cari apa?" tanya Gito.

"Tasbihku," jawab Yoga sambil mengecek benda-benda di meja.

Alis Gito berkerut. "Tasbihmu?" tanya Gito keheranan. Pertanyaan itu bisa bermakna 'sejak kapan kamu berkenalan dengan benda bernama tasbih?', atau 'sejak kapan kamu punya tasbih?'

Yoga membuka laci di bawah mejanya. "Nah. Ini dia!" serunya saat menemukan yang dicarinya di dalam laci. Tangannya mengambil untaian tasbih kayu berwarna coklat. "Yuk. Berangkat. Kita ke ruangan ayahku dulu, ya."

Mereka keluar ruangan dan menjemput Dana di ruangannya. Dana sama terkejutnya dengan Gito saat melihat penampilan anak semata wayangnya yang nampak begitu religius. Tadi pagi Yoga berangkat dari rumah dengan busana kerja. Baju muslim ini berarti baru dipakai Yoga karena mereka akan berangkat salat Jum'at.

Yoga dengan enteng merangkul pundak ayahnya. "Ayah, ayo kita berangkat!"

Gito merasa agak sungkan saat memberi salam pada Dana. Dia menunduk sedikit. "Om. Apa kabar, Om?"

"Baik, Gito. Kamu apa kabar? Kamu sering main ke rumah, tapi Om gak ketemu kamu ya?" kata Dana terdengar ramah namun formal.

"He he. Iya, Om. Kabar saya baik alhamdulillah, Om," jawab Gito.

Yoga dengan santainya masuk ke dalam percakapan basa-basi mereka. "Kita 'kan sesama muslim. Harusnya salamnya 'assalamualaikum', dong. Pakai 'apa kabar' segala. Kayak sama rekan kerja aja."

Komentar itu membuat Gito salah tingkah. Dia memang sengaja bilang 'apa kabar', karena berpikir mungkin Dana tak terbiasa menjawab 'wa alaikum salam'.

"Oh iya ya. He he. Assalamualaikum, Om," ralat Gito sungkan. Yoga aneh-aneh saja komentarnya, batin Gito. Dia jadi terpaksa merevisi sapaannya.

"Wa alaikum salam," jawab Dana rikuh. Jelas nampak tak terbiasa mengucapkannya.

"Yuk berangkat sekarang!" Yoga mengucapkannya seperti anak kecil yang mengajak temannya ke taman bermain. Gito dan Dana terheran-heran.

Mereka keluar ruangan, berjalan di koridor dan menunggu pintu lift terbuka. Di dalam lift, tiga orang staf wanita segera menunduk saat melihat Yoga dan Dana memasuki lift. Ketiga wanita itu terpesona melihat penampilan Yoga yang tidak seperti biasanya.

Pintu lift terbuka. Gito membiarkan Yoga dan ayahnya keluar lift duluan, dan dia menyusul setelah mereka.

Setelah mereka keluar dari lift, ketiga wanita itu segera menutup bibir mereka dan menjerit tertahan. "AAAWWW!!! GILAAK!! Itu tadi Pak Yoga HOT bangeettt!!!"

"Iya!! Baru kali ini liat Pak Yoga pake baju putih-putih. Bikin mukanya tambah cerah. A la mak jan. kakiku ampe lemes!"

"Heran saya mah, ya. Kenapa atuh Pak Yoga gak pernah bikin skandal sama stafnya? Bikin kek sama saya!"

Kedua temannya segera memukul lengannya. "Eleuh eleuuh Iteung! Kamu ganjen banget! Ngarep aja kamu mah! Kalo pun Pak Yoga bikin skandal sama anak buahnya, lebih make sense kalo sama saya!"

Satu orang dari mereka mendadak diam. Dia berbalik badan dan menatap angka nomer lantai yang terus naik. "HEEEHHH??? KENAPA KITA TADI GAK KELUAR LIFT??" Pertanyaan itu membuat mereka saling menatap dan menyadari kebodohan masal yang telah mereka lakukan.

***

Gito menyadari banyak hal yang tidak biasa pada Yoga. Dia terlihat benar-benar memperhatikan isi ceramah salat Jum'at, tidak seperti ayahnya yang bolak-balik melirik jam tangan seolah tidak sabar ingin segera kembali ke kantor.

Setelah selesai salat, benar saja, Dana segera berdiri dan keluar dari masjid, mengikuti sebagian besar jamaah. Tapi ajaibnya, Yoga masih di sampingnya, ikut berzikir setelah sholat! Hari ini sebuah sejarah terukir, pikir Gito.

Setelah zikir bersama selesai, mereka berdua berjalan menuju tempat parkir, dimana Dana kemungkinan sedang menunggu mereka di mobil bersama supir. Gito sedang berpikir, apakah sebaiknya bertanya sekarang, atau besok saja saat dia main ke rumah Yoga?

"Yoga, besok kamu sibuk? Apa aku boleh main ke tempatmu?" tanya Gito.

"Maaf, To. Besok aku sepertinya bakal sibuk," jawab Yoga.

"Oh -- ," gumam Gito menunggu penjelasan, tapi Yoga diam saja. Akhirnya rasa ingin tahu yang tak tertahankan membuatnya bertanya, "kamu sibuk apa ya? Lembur di kantor?"

"Aku mau belanja baju putih," jawab Yoga tersenyum.

"Baju putih? Untuk apa?" tanya Gito dengan kening berkerut.

"Untuk kupakai ke Majelis," jelas Yoga.

Gito mendadak berhenti berjalan. Yoga yang menyadarinya ikut berhenti berjalan dan membalikkan badan. "Kenapa, To?"

"Apa kamu bilang tadi?" kata Gito masih dengan ekspresi terkejut.

Yoga tersenyum. Ini dia, pikirnya. Mungkin sebentar lagi Gito akan mentertawakannya.

"Aku bilang, aku mau beli baju putih, buat kupakai ke majelis. Majelis Zikir," kata Yoga memperjelas jawabannya.

Diluar dugaan, mata Gito berair. Dia berjalan menghampiri Yoga dan merangkulnya.

Yoga terbelalak. "Lho? Kenapa kamu?"

"Maaf, maaf. Aku agak -- ha ha! Gimana, ya? Rasanya --" Gito tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

"Soalnya, selama ini aku do'ain kamu supaya kamu bisa menemukan 'jalan'mu sendiri, Yoga. Aku lega kalau kamu sudah menemukannya," lanjut Gito.

Yoga merasa terharu mendengarnya.

"Terima kasih sudah bersedia mendo'akan orang seperti aku," ucap Yoga tulus.

Itu adalah kepedulian tertinggi seseorang kepada kita. Saat dia mendo'akan kebaikan kita, tanpa sepengetahuan kita.

.

.

***

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang