.
.
"Emangnya lembur di kantor yang zalim ini dibayar?"
.
.
***
"Erika, kamu sudah makan rotinya?"
Erika kembali mendongakkan kepala. Di atas batas kubikal birunya, Mey tengah memandangi roti yang tadi dia belikan untuk Erika.
"HAHH?? MASIH UTUH?? KENAPA BELUM DIMAKAN SAMA SEKALI??" pekik Mey syok, sata melihat roti Erika masih utuh.
Erika berdiri dari kursinya sambil berusaha menenangkan Mey dengan isyarat dengan tangan. "Te-tenang, Mey. Aku bukannya gak mau makan, tapi lupa. Beneran, deh."
Mey hanya merespon pembelaan diri Erika dengan picingan mata.
"Oke oke. Aku makan sekarang," kata Erika membuka bungkus plastik kemasan roti. Baru saja dia akan melahapnya, saat tiba-tiba terdengar suara azan dari speaker komputernya. Dia memang sengaja meng-install aplikasi azan, karena pernah beberapa kali bablas salat akibat heboh dengan pekerjaannya.
"Eh udah azan Maghrib. Salat dulu yuk, Mey. Ntar abis salat, aku makan kok rotinya. He he," ujar Erika cengengesan.
Mey menatapnya tajam. "Bener ya. Abis salat dimakan."
Erika mengiyakan sambil nyengir.
.
.
Selepas salat, Erika melahap rotinya, namun kemudian menolak saat diajak makan malam bersama Mey. Erika beralasan masih kenyang karena roti. Padahal alasan sebenarnya adalah, dia tidak yakin bisa memasukkan nasi ke dalam perutnya.
Waktu berlalu cepat saat lembur. Waktu Isya datang. Selepas salat Isya, Erika berpapasan dengan Mario di koridor.
"Hai cantik," panggil Mario dengan godaan standarnya.
Erika mengerutkan alisnya. "Oh, kamu Mario. Kamu udah mau pulang?"
"Iya. Bentar lagi aku pulang."
Erika merespon dengan dingin. "Ya udah pulang gih, sana."
Mario memanyunkan bibirnya. "Ih. Kamu kok gitu banget sama aku sih."
Erika menghela napas. Malas berurusan dengan orang ini. "Kerjaanmu udah kelar, Mario? Hebat juga jam segini udah bisa pulang."
Mario menjawab setengah berbisik. "Kemarin malam, aku kerjain setengahnya di rumah. Jadi hari ini bisa gak terlalu malam pulangnya. Soalnya, kalo keseringan lembur di kantor, aku bisa masuk angin."
Erika menatapnya tak percaya. "Kamu kerjain di rumah?? Oh that's a BIG No No for me!"
Mario mendengkus. "Cis. Sama aja, tau! Emangnya lembur di kantor yang zalim ini dibayar??"
Erika agak geli mendengar kata 'zalim' keluar dari Mario. Berhubung dia bukan seorang muslim. "Iya sih. Ya udah pulang, sana. Istirahat di rumah. Titi DJ ya." Erika baru akan melambaikan tangan, tapi kemudian Mario menyodorkan sebungkus plastik putih.
Erika mengernyit heran. "Apa lagi nih?"
"Tadi kulihat Mey beliin kamu roti. Kamu bisa makan roti, 'kan? Soalnya, perutmu 'kan kosong setelah muntah dua kali. Jadi aku beliin roti barusan di kantin. Ada dua. Dimakan ya. Soalnya, AC di kantor berasa lebih dingin kalo malem. Kalo gak makan, nanti kamu sakit."
Erika terdiam. Tangannya menerima bungkusan itu. "Makasih."
"Trus, lain kali kalo ngelembur, pake jaket. Jangan cuma kemeja. Biar gak masuk angin."
"Iya. Thanks," sahut Erika tidak berani melihat sorot mata Mario, yang menampakkan kekhawatiran. Mario memang sering usil padanya, tapi dia tidak pernah menanggapi anak itu dengan serius. Umur Mario lebih muda darinya tiga tahun, tapi melihat caranya berinteraksi dengan lawan jenis, Erika bisa memastikan, kalau Mario tipe yang sudah terbiasa menjalin hubungan dengan wanita yang lebih tua. Dia sama sekali tidak ada segan-segannya pada Erika, yang sebenarnya seniornya.
"Mbak Erika, ngelembur ya, Mbak?" Erika dan Mario menoleh. Rupanya yang menyapa Erika adalah Pak Supri, Office boy di kantor.
"Eh, Pak Supri. Iya, Pak. Terpaksa lembur nih, gak tau sampe jam berapa," jawab Erika.
"Oh gitu. Mbak Erika udah makan, belum?" tanya Supri lagi.
"Udah makan roti tadi, Pak."
"Wah. Masa' cuma roti aja, Mbak? Nih kebetulan saya abis beli nasi goreng di bawah. Saya beli dua porsi, maksudnya sih buat Mas Kris yang nitip, eh gak taunya dia malah pulang. Dari pada kebuang, buat Mbak Erika aja, ya?"
Erika menggeleng sambil mengibaskan tangannya. "E-Enggak. Makasih, Pak. Saya gak --"
Pak Supri membuka satu bungkusan coklat dari jinjingannya. "Jangan malu-malu, Mbak. Ini buat Mbak aja. Nasi gorengnya enak deh, Mbak. Spesial pake telor, dan ada sayur plus sosisnya juga."
Bungkusan itu sudah terbuka sempurna. Aroma bumbunya segera menyeruak keluar, dan mata Erika segera menangkap pemandangan itu. Bulir-bulir nasi berwarna kecoklatan itu tercampur sempurna dengan potongan wortel berbentuk dadu, irisan daun bawang, telur mata sapi dan irisan tipis sosis berwarna merah tua.
Rasa mual itu kembali muncul dari perutnya, dan dengan cepat naik ke tenggorokan. Erika menutup mulutnya dan segera berlari ke pintu kamar mandi, yang untungnya dekat dari tempatnya berdiri di koridor. Dan segera setelah dia masuk ke dalam toilet, pintu ditutup dengan terburu-buru.
Pak Supri terbengong-bengong. Tubuhnya mematung, masih sambil memegang bungkusan nasi goreng yang terbuka. "Lah. Kenapa, ya?"
Sementara Mario menutup mukanya. "Hh. Kejadian lagi, deh."
"Ada apa ya, Mas?" tanya Supri heran.
Mario menghela napas. "Erika dari tadi pagi muntah. Tadi siang juga. Gara-gara liat makanan. Yang pagi lebih aneh lagi. Cuma gara-gara liat gambar makanan. Gambarnya aja, Pak!"
Pak Supri terdiam. "Jangan-jangan, Mbak Erika hamil."
Mata Mario terbelalak. ".... hamil?" gumam Mario. Itu adalah kemungkinan yang tak terpikir di otaknya. Setaunya, Erika sudah delapan tahun menikah dan belum punya anak. Dia memang tidak pernah bertanya pada Erika. Tapi, selama ini dia mengambil kesimpulan sendiri, bahwa mungkin Erika, atau suaminya, mengalami masalah kemandulan sehingga tidak bisa punya anak.
Seorang staf wanita datang menghampiri Mario dan mengajaknya pulang bareng, namun Mario menolak. Ia merasa ingin memastikan terlebih dahulu kondisi Erika setelah berkali-kali muntah hari ini.
Pintu toilet terbuka, dan wajah Erika nampak pucat.
"Erika?" panggil Mario.
Erika menoleh ke samping dengan mata sayu. "Lho? Kamu masih di sini, Mario? Bukannya tadi mau pulang?"
"Iya. Aku tunda sebentar, soalnya -- Erika, kamu kenapa? Kok mukamu pucat?"
Erika terdiam menahan pusing di kepalanya. Mungkin Farhan benar. Mungkin seharusnya dia izin hari ini. Erika mendadak menepuk keningnya, teringat dirinya lupa mengabari Farhan, padahal tadi dia janji akan menelepon Farhan lagi.
"Aku gak apa-apa, Mario. Thanks ya rotinya. Nanti aku makan," ucap Erika dengan senyum agak dipaksakan. Dia merasa tubuhnya agak lemas sebenarnya. Wajar, setelah dirinya muntah untuk ketiga kalinya hari ini.
Mario masih berdiri mematung dengan mata memicing, seakan tak yakin Erika baik-baik saja.
Erika berjalan dengan langkah gontai, dan sedetik kemudian, tubuh Erika tumbang ke lantai.
"ERIKA!!!" Mario berlari dan bersimpuh. Tangannya menepuk-nepuk pipi Erika. "OY! ERIKA!!" ulangnya dengan nada panik. Tak ada reaksi. Mata Erika tertutup dan wajahnya pucat pasi.
.
.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...