.
.
Jika aku tidak memberinya makan, Mueeza selalu keluar mencari makan dengan penuh keyakinan, dan pulang dengan perut kenyang.
Imanku lah yang sebenarnya sedang diuji.
.
.
***
Rutinitas bekerja sebagai buruh kapal paruh waktu, terus berulang. Terasa menyenangkan saat ada yang menyambutku pulang, sekalipun yang menyambut adalah seekor kucing.
Malamnya, aku kedatangan tamu. Arisa datang membawakan kue untuk sarapan besok pagi. Karena sudah lama dia tidak berkunjung, aku merasa senang hanya dengan melihat wajahnya. Sesekali aku menemukan warna pipinya merona, tak tahu apa sebabnya. Tapi aku suka melihatnya. Rumah terasa hangat dengan kehadiran Mueeza dan Arisa.
.
.
Sebulan berlalu.
Aku dan Pak Amat sudah tidak bekerja di kapal lagi.
Segera setelah aku kembali dengan rutinitas di rumah, aku menyadari bahwa aku perlu berhati-hati mengeluarkan uang, hasil yang kudapat dari bekerja di kapal sebulan. Karena selama bekerja di sana, aku selalu diantar jemput pak Amat, jadi aku tidak mengeluarkan sepeser pun untuk biaya angkot. Dan karena hampir tiap hari aku mendapat dua ekor ikan laut, pengeluaran makanku sebulan lalu juga jadi lebih sedikit. Sisa uang ini harus kuhemat, karena aku tidak tahu kapan lagi bisa mendapat pekerjaan.
Esok paginya, aku pergi ke rumah Jaja. Aku dengar dia baru saja bekerja jadi pengantar koran bulan lalu. Aku bertanya padanya, apa kira-kira aku bisa bekerja jadi pengantar koran juga seperti dia? Jaja mengantarku bertemu dengan laki-laki yang mempekerjakannya. Laki-laki itu masih muda, mungkin usianya 20-an awal. Laki-laki bernama Prio itu berkata, saat ini belum ada posisi kosong. Tapi nanti kalau ada, dia akan memberitahuku melalui Jaja. Aku berterima kasih padanya dan pamit ke rumah.
Karena memang belum ada yang bisa kukerjakan, aku kembali menekuni yang biasa kulakukan sehari-hari. Mengkaji kitab-kitab, menghapal Al-Qur'an, membaca Hadits. Karena di rumah hanya ada aku dan Mueeza, pekerjaan beberes rumah menjadi sangat sedikit. Aku hanya perlu mencuci satu piring setiap selesai makan. Kadang kalau beli nasi bungkus, dan alasnya kuletakkan di atas piring, aku jadi tidak perlu mencuci apapun. Membersihkan rumah yang mungil tidak makan waktu lama. Aku jadi lebih fokus dengan hapalanku. Kalau ini terus berlangsung, mungkin aku bisa mencapai yang diimpikan Ibu dulu. Hapal qur'an sebelum usiaku lima belas tahun.
.
.
Dua minggu berlalu.
Di masjid, Pak Amat bertanya padaku, apakah aku sudah mendapatkan pekerjaan baru? Kujawab belum. Beliau nampak khawatir, tapi kubilang padanya, insyaallah nanti aku akan dapat pekerjaan. Kukatakan pada pria baik itu, agar tidak perlu mencemaskanku.
"Sabar ya, Nak. Nanti kalau bapak tahu ada kerjaan yang bisa kamu kerjakan, insyaallah akan Bapak kasih tahu. Kalau kamu perlu sesuatu, apa saja, kamu bilang sama Bapak, ya," kata beliau.
Aku berterima kasih seraya tersenyum tulus padanya. Terharu rasanya. Padahal aku tahu kalau kehidupan Pak Amat juga sulit. Walaupun aku meng-iya-kan, tapi dalam hati aku bertekad akan berusaha untuk sebisa mungkin tidak merepotkan siapa pun, dan tidak meminta-minta pada siapa pun.
Malam itu di dapur, aku sedang menyuwir-nyuwir ikan goreng menjadi kecil-kecil, dan mengaduknya dengan nasi. Kuberikan sebagian pada Mueeza. Aku makan di samping Mueeza di lantai.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...