Bagian 60 (Pengakuan)

1.1K 76 12
                                    

.

.

Manusia melewati detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, tahun demi tahun, melakukan hal-hal tidak bermanfaat.

Dan terkadang, waktu digunakan untuk berbuat maksiat kepada Allah, yang sejatinya sama dengan berbuat zalim pada diri sendiri.

.

.

***

Ungkapan rasa Aurelia yang diulang itu membuat Yoga sedikit banyak terpengaruh. Detak jantungnya semakin cepat. Dia sudah lupa kapan terakhir kali mendengar pengakuan cinta dari wanita. Setelah putus dari Christy, dia memang sengaja membuat batas dengan beberapa wanita yang berusaha mendekatinya. Hingga tak ada satupun yang berani menyatakan perasaan padanya. Dan sekarang ...

Sepasang mata Aurelia tengah menatap lurus padanya. Yoga sudah tahu bahwa wanita ini aslinya urakan, tapi rasa malu yang berusaha dibendungnya, saat mengutarakan perasaan, tak bisa dia sembunyikan.

Yoga menundukkan pandangan.

Tidak. Tidak. Ini aneh, batin Yoga.

"Aku gak ngerti. Setelah enam bulan kita gak ketemu, kamu mendadak menghubungiku dan minta ketemuan, lalu sekarang kamu bilang suka padaku?" tanya Yoga.

Yoga menggelengkan kepalanya. "Kasih aku penjelasan, Aurelia."

"Panggil aku Aurel," kata lawan bicara Yoga.

Jawaban singkat itu membuat dahi Yoga berkerut. "Hah?"

Aurel menghela napas. "Sejak pertama kali kita ketemu, aku udah bilang, kamu boleh panggil aku Aurel."

Yoga mendengkus. "Ya ya. Aurel. Emang apa bedanya sih? Cuman selisih dua huruf aja."

"Beda, tau! Cuma orang dekat aja yang panggil aku Aurel!" tukas Aurel.

Yoga mulai merasa tidak sabaran. "Oke. Fine. Aurel. Cepat jelaskan padaku, kenapa kamu tiba-tiba jadi begini? Apa yang kamu rencanakan sebenarnya? Apa kamu masih mau coba skenario 'pura-pura nikah' mu itu? Kalau iya, aku gak mau ikutan."

Aurel buru-buru menggelengkan kepala disertai kibasan tangan. "Enggak! Sama sekali gak ada hubungan dengan itu!"

Yoga melihat ekspresi Aurel yang nampak serius. "Trus kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?"

Mata Aurel menunduk ke permukaan meja. Jemarinya saling bertaut. Gelisah. "Aku. --"

Yoga berusaha bersabar menunggu kalimat lanjutannya, tapi lama sekali, Aurel tidak juga bicara. Dia mendadak berdiri. "Kalau kamu nggak ngomong juga, aku pergi nih sekarang."

Aurel menjulurkan tangannya dan memberikan isyarat untuk mencegah kepergian Yoga. "JANGAN!! Jangan pergi! Oke, aku akan jelasin."

Yoga kembali duduk, masih dengan perasaan heran.

Ada apa sih sebenarnya? Kenapa wanita yang urakan semacam Aurelia jadi seperti ini? Pasti sesuatu sudah terjadi padanya, pikir Yoga.

Aurel menurunkan tangannya ke bawah meja dan mulai meremas gaunnya. "Aku ... bulan lalu, baru saja ... aborsi."

Mata Yoga terbelalak. Tubuhnya terasa kaku. Dia mencoba meyakinkan dirinya, akan apa yang baru saja keluar dari bibir Aurel. Salah dengarkah telinganya? ABORSI??

Keheningan yang terasa menyayat itu, akhirnya mendesak air mata Aurel menetes satu demi satu membasahi wajah dan gaunnya. Dia kembali bicara, kali ini dengan suaranya gemetar. "Setelah pertemuan kita enam bulan lalu, aku mengabaikan nasehatmu, dan kembali pada kehidupanku yang liar, bebas, yang selama ini kupikir, adalah cara terbaik untuk melarikan diri dari semua tekanan, dan rasa benciku pada Ibuku.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang