Bagian 178 (Reach The Limit)

795 133 37
                                    

.
.

Seperti juga tubuh, hati juga adalah amanat dari Tuhan.

Jaga, sucikan keduanya.

.
.

***

Dua hari kemudian, kembali berlangsung presentasi di sebuah kantor di daerah Jakarta Timur.

Seperti presentasi sebelumnya, presentasi kali ini juga bisa dibilang sukses.

Tim pemasaran yang memang handal di bidangnya, dan ditambah dengan pamungkas berupa kalimat penutup dari C.E.O yang tengah dinilai kontroversial kebijakannya, Yoga Pratama, mampu meyakinkan Dewan Direksi. Kali ini, mereka bahkan tak meminta waktu untuk diskusi intern. Dirut mereka langsung memutuskan menjadi pemodal di Danadyaksa Corp. Dan dalam seminggu, tambahan dana akan segera masuk ke anggaran.

Dalam seminggu, tim keuangan, pemasaran dan C.E.O sibuk berkoordinasi.

"Lapor Pak. Dana yang masuk sampai saat ini telah mampu metutup sebulan gaji karyawan," kata Han sambil bergaya hormat bendera, dengan sisi tepian tangan menempel di kening.

Rona bahagia tergambar jelas di wajah Yoga. "Alhamdulillah ... ," ucapnya penuh syukur. Matanya berkaca-kaca. Tapi dia segera mencegah dirinya emosional.

Han tersenyum, menyadari di balik ketegasannya, bosnya yang satu ini memiliki hati yang lembut dan mudah tersentuh.
"Ya. Jujur saya juga awalnya sempat pesimis. Tapi, jika pemasukan dana bisa terus konsisten seperti ini, mungkin kita bisa menutupi kekurangan anggaran."

"Uhuk! Uhuk!" Yoga berdehem sedetik. "Ya. Insyaallah. Semoga dana tambahan akan terus masuk."

Kening Han berkerut. "Bapak sakit?"

Tangan Yoga menepuk dadanya. "Ah cuma sedikit. Tenggorokan saya cuma agak gatal. Dan kalau malam, kadang dada saya terasa agak dingin seperti menggigil."

Penjelasan itu membuat lawan bicaranya tampak kuatir. "Kok kedengarannya serius? Bapak tidak ke Dokter?"

Yoga mengibas tangannya dengan santai. "Ah. Tidak perlu. Saya rasa, ini cuma efek samping begadang."

" ... Pak, mungkin ada baiknya Bapak istirahat dulu. Sementara ini jangan lembur dulu Pak," pria itu berusaha membujuknya.

"Tidak bisa. Daftar calon investor terus masuk. Dan waktu terus berjalan. Saya merasa seperti sedang dikejar jam raksasa yang sedang menggelinding ke arah saya."

Han meringis. "Terdengar seperti mimpi buruk."

Yoga tertawa. "Tidak apa. Ini adalah efek dari kebijakan yang saya buat. Saya tidak akan lari dari tanggung jawab. Saya percaya, Tuhan akan menolong saya. Dan pencapaian kita sejauh ini, juga adalah bentuk pertolongan-Nya."

Han terdiam. Merasa tersentuh dengan kesungguhan pada kalimat itu. Iman yang kuat, yang tergambar melalui kata-kata dan tindakan.

Yoga tersenyum lebar. "Terima kasih. Saya sudah terima laporannya yang menggembirakan hati. Semoga ke depannya kita akan sering melihat laporan semacam ini," katanya dengan ditutup tawa bahagia.

"Baiklah. Saya pamit dulu ke ruangan saya Pak," Han berdiri dari kursi di depan meja C.E.O.

"Silakan. Selamat bekerja," ucapan semangat itu diucapkannya masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

"Sama-sama Pak. Selamat bekerja."

Han berjalan menuju pintu. Sebelum keluar dari ruangan itu, suara batuk Yoga kembali terdengar beberapa kali. Membuatnya kuatir. Tapi yang dikuatirkan tampak tak perduli. Seolah tubuhnya tak berharga.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang