.
.
AKU KESAL SEKALI DENGAN BOCAH ITU!!! KALAU ADA DI SINI, SUDAH KU-SMACK DOWN DIA!!!"
.
.
***
"A-APPAAAA ... ???" Dia refleks berdiri dari sofa ruang duduk. Sepasang mata itu terbelalak, dan urat nadi di keningnya perlahan muncul. Teriakan tak percaya itu meluncur begitu saja. Reaksi spontan Dana yang tentunya sudah diprediksi oleh Bastian, kepala pelayan setia keluarga Danadyaksa.
Bastian mengenal Dana dan Yoga seperti anak dan cucunya sendiri. Dia menelan ludah dengan susah payah. Matanya melirik ke dua orang pelayan laki-laki berseragam putih, yang berdiri tegap di belakang tuannya. Memberi kode lirikan yang mereka sama-sama pahami sebagai 'Apapun yang terjadi, JANGAN BIARKAN SAYA BERDUA SAJA DI SINI DENGAN TUAN BESAR!!'
Seorang diantara mereka berdua membalas kode lirikan itu dengan membentuk lingkaran menggunakan ibu jari dan telunjuknya. 'BERES, PAK BASTIAN! Don't worry be happy!'
Mereka tengah berdiri berhadapan di ruang duduk.
Jadi, awalnya, sepuluh menit yang lalu ...
.
.
Setelah Dana selesai dengan sesi terapi pemijatan untuk relaksasi, Bastian kembali mengetuk pintu kamar tuan besarnya itu.
Dana memang nampak lebih rileks, tapi saat mendengar Bastian berkata ada yang ingin dibicarakan, alis pria itu kembali berkerut. "Ada yang mau dibicarakan? Ini tentang Yoga yang tadi pagi meneleponmu, 'kan?"
"Benar, Tuan Besar. Apa kita bisa bicara di ruang duduk, Tuan?"
"Ruang duduk? Kenapa tidak di sini saja?? Bicara saja di sini. Sama saja, 'kan?"
Lawan bicaranya tersenyum, namun sesungguhnya lehernya terasa sedikit kaku, dan jantungnya mulai kebat kebit. Dia tahu saat-saat sulit ini akan tiba jua, namun tetap saja dia merasa ngeri saat harus menyampaikan kabar yang bisa dipastikan akan membuat Dana mengamuk.
"A-anu tuan, menurut hemat saya, akan lebih baik jika kita bicara di ruang duduk, Tuan. Bukankah fungsi daripada ruang duduk adalah untuk duduk dan bicara? Ha ha," jawabnya dengan konten jawaban yang aneh dan tawa yang dipaksakan.
Dana menghela napas kasar. "Ada-ada saja. Ya sudah. Sebentar lagi aku ke sana. Aku mau ke kamar mandi dulu. Kamu duluan saja, Bastian. Nanti saya nyusul."
"Baik, Tuan Besar."
.
.
Sesampainya di ruang duduk, dilihatnya Bastian sedang berdiri menunggunya, dan juga ada dua orang pelayan laki-laki muda, berdiri di dekat tembok. Walau samar, aura ketegangan terasa di ruangan itu. Membuat Dana bingung, sebenarnya apa yang mau disampaikan Bastian? Kenapa sampai harus disampaikan di ruangan ini?
Bastian membungkuk hormat padanya. Sementara fokusnya sekarang beralih ke sekeliling ruangan. Dia merasa ruang duduk ini jadi berbeda.
"Lho?? Ke mana bingkai-bingkai foto yang ada di dinding dan meja nakas? Trus, meja nakasnya kok gak ada?? Meja kacanya juga, kenapa diganti dengan meja kayu??"
Bastian tersenyum tegang. "I-Itu ... meja dan yang lainnya sedang dibersihkan pelayan, tuan. Besok akan saya suruh letakkan kembali di ruangan ini."
Jawaban itu nampak tidak memuaskan. Bastian yang mulai berkeringat dingin, menerima tatapan tajam dari tuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
EspiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...