Bagian 145 (Suluk)

788 114 26
                                    

.

.

Belum dikatakan berbuat baik kepada Islam, orang yang belum berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya.

~ Syaikhul Jihad Abdullah Azzam
.

.

***

Yoga sibuk dengan zikir hariannya. Waktu berlalu dengan cepat. Dia berhasil menyusup ke dalam masjid tanpa dilihat orang, setelah orang-orang usai salat jamaah Dzuhur dan Ashar. Lalu menjelang Maghrib ...

Kruyuuk ... zikirnya terhenti. Perutnya lapar sangat. Dia menyadari sesaat lagi adzan Maghrib akan berkumandang, tapi tak tahu harus membatalkan puasa dengan apa.

Bagaimana kalau sama sekali tak ada yang bisa dimakan atau diminum?

Pikiran itu membuatnya gusar. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Air keran di tempat wudhu!

Tentu saja dia tahu air itu sebenarnya bukan untuk diminum. Tapi dari pada sama sekali tidak ada.

Garis alisnya menukik turun. Perasaan sedih karena memikirkan tak adanya makanan dan minuman, seumur hidup baru dirasakannya sekarang.

Pasar mulai sepi. Hanya ada sedikit lapak yang masih berjualan. Para pedagang sayur sudah pulang sejak siang. Di antara yang masih berjualan, ada Pak Marwan dan temannya yang berlapak persis di sampingnya.

"Belum siap-siap Pak?"

Marwan yang ditanya, tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada orang gila yang sedang duduk termenung di ujung gang sempit samping deretan lapak.

Tep! Tepukan di bahunya menyadarkannya dari lamunan. "Eh ... maaf. Ada apa ya?"

Temannya menggelengkan kepala. "Jangan keseringan ngeliatin orang gila. Entar ketularan gila lho." Marwan tertawa.

"Yuk pulang. Kok belum siap-siap?"

"Duluan aja Zal. Saya mau Maghrib-an di sini aja dulu."

Safrizal sibuk mengepak barang-barang sembako ke dalam kardus dan memindahkannya ke dalam gerobak. "Ya sudah. Saya mah di rumah sajalah. Jamaah bareng anak istri. Insyaallah keburu kayaknya sih."

Selepas temannya pulang, tinggal lah Marwan sendiri. Dia mulai memasukkan kue-kue dagangannya ke dalam kardus dan memindahkannya ke gerobak. Tapi dua buah kue basung dan dua buah dodol, keduanya adalah kue berbahan dasar beras ketan, dimasukkannya ke dalam sebuah kotak, bersama dengan air mineral gelas dan sedotan.

Tak lama terdengar suara mic diketuk dengan jari dari arah speaker masjid. Yoga refleks menoleh ke arah masjid.

Sudah saatnya? Adzan?

"Allahu akbar ... Allaaahu akbar."

Hatinya terasa pedih. Tapi kenyataan ini berusaha diterimanya dengan ikhlas. Waktu Maghrib telah tiba dan tak ada makanan sedikit pun. Bahkan air layak minum setetes pun tak ada. Baiklah, pikirnya. Dia akan menunggu orang-orang selesai salat Maghrib jamaah, lalu dia akan minum dari air tempat wudhu.

"Allahu akbar. Allahu akbar," Yoga menjawab panggilan salat dengan hati penuh ketundukan. Dalam kondisi lapar dan kesempitan seperti saat ini, tubuh dan hati mencapai titik pasrah. Nafsu seolah dimatikan. Dalam kondisi seperti ini, apapun yang diberikan padanya, akan terasa berharga. Apapun. Sementara dalam kondisi serba cukup atau berlebih, manusia seringkali protes. Mengeluhkan kekurangan dan ketidaksempurnaan.

Adzan terus berkumandang hingga akhir. "Laa ilaha illallah. Muhammadarrasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." Jawaban panggilan salat itu diucapnya pelan. Tapi terdengar oleh seorang pria yang tanpa disadarinya sudah berdiri di sampingnya. Yoga melihat sepasang kaki yang mengenakan sandal jepit merah. Matanya mengarah ke atas, menatap wajah orang yang mendekatinya.
Bapak berkepala plontos. Pria yang pertama dilihatnya saat dia terbangun di pasar dini hari. Dia tersenyum menatap Yoga. Tangannya menyerahkan sebuah kotak berwarna putih.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang