Bagian 154 (Sampai jumpa lagi, Padang. Insyaallah)

810 142 55
                                    

.

.

Jangan lepaskan kebaikan sekecil apapun.

Bisa jadi dalam kebaikan yang kecil itu, terdapat ridho Allah.

.

.

***

"Sekarang tinggal beli oleh-oleh ya Tuan Muda?" tanya Patar sambil menoleh ke bangku belakang mobil.

"Iya. Kalian tahu alamat tokonya? Kalau tidak tahu, kita tanya saja pada pejalan kaki."

"Oh saya tahu Tuan. Jangan kuatir. Saya pernah ke Padang. Ipar saya orang Padang," sahut Riko yang duduk di belakang kemudi.

"Beres kalau begitu. Kamu pilih toko yang mana sajalah." Yoga mengenakan kaca mata hitamnya. Membuatnya makin mirip turis internasional. Matahari masih agak silau, walau sudah mengarah ke sisi Barat.

20 menit kemudian, mereka tiba di luar sebuah toko souvenir besar yang menurut Riko termasuk salah satu toko oleh-oleh terkenal di Padang. Tempat parkirnya juga luas. Tapi melihat ramainya pengunjung, Yoga jadi merasa kuatir.

"Wah ... kalau ramainya seperti itu, saya takut antri di kasirnya panjang. Kita cari saja toko lain yang kecil. Supaya transaksinya langsung beres, dan kita bisa segera pulang."

"Baik Tuan." Mereka berdua saling melongok ke luar jendela. Mencari-cari toko souvenir yang kecil dan sepi.

***

Seorang pria duduk termenung di sebuah toko oleh-oleh khas Padang di ujung jalan. Di sepanjang jalan itu, ada beberapa toko serupa dengannya, tapi semuanya adalah toko besar yang tentunya bermodal besar, dengan budget pemasaran yang besar pula. Sehingga mereka biasanya mampu memasang baliho atau spanduk warna-warni di pinggir jalan.

Sementara tokonya hanya toko mungil yang untuk biaya perawatannya saja kadang tidak bisa didapat dari keuntungan bulanan. Modal awal usahanya, adalah hasil meminjam dari beberapa sanak saudara. Dari sekian banyak toko oleh-oleh di kota Padang, tokonya mungkin adalah yang paling jarang didatangi pembeli. Dia paham Lebaran masih lama, jadi dia harus bersabar menunggu masa-masa laris yang biasanya terjadi saat Lebaran dan libur panjang sekolah. Di luar waktu itu, tokonya sangat-sangat sepi bak kuburan.

Dia menggeser posisi peci songkok beludru bermotif khas Padang miliknya. Mengurut dahi dengan jari sembari menghela napas penuh tekanan. Tak lama ponselnya berbunyi. Ring tone musik tradisional Minang membuatnya nyaris melonjak dari kursi. Rasa terkejutnya bertambah saat melihat sebuah nama di layar ponselnya.

Matanya memicing, seolah enggan menjawab telepon. Tapi kemudian diterimanya juga sambungan telepon itu.

"A-assalamualaikum Uda Salman."

Salamnya dijawab dengan nada kesal. "Wa alaikum salam. Gimana Pak Adit? Sudah lewat jauh nih dari jatuh tempo. Mau sampai kapan minta keringanan waktu? Enak betul ya. Ringan di Bapak, berat di saya."

Dia menelan ludah. "I-iya, maaf. Tolonglah saya dikasih mundur lagi. Kan Uda lihat sendiri toko saya lagi sepi. Kuburan saja masih lebih ramai dibanding toko saya."

"Eh dengar ya Pak Adit. Kesabaran saya sudah habis. Kalau semua peminjam seperti Bapak, usaha saya sudah gulung tikar dari kapan tahu! Saya tidak perduli. Pokoknya hari ini saya akan datang ke toko Bapak. Siapkan uangnya sebelum saya datang!"

Wajahnya pucat. "Waduh jangan dong Uda. Sore ini mertua saya datang. Lain hari saja bagaimana?"

"Ooh pas kalau begitu. Sekalian saja mertua Bapak tahu juga. Biar ramai. Pinjamlah sana sama siapa kek. Sama mertuanya juga bisa kan? Biasanya juga begitu. Gali lubang tutup lubang."

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang