Bagian 40 (Catatan Yoga)

1.2K 72 0
                                    

.

.

Kadang aku bertanya-tanya, untuk apa kita hidup?

.

.

***

Tiga bulan berlalu sejak reuni.

Pintu kaca otomatis itu terbuka. Dua orang staf wanita membungkukkan tubuh mereka pertanda hormat. "Terima kasih," ucap mereka.

Aku mengabaikan mereka dan melangkah keluar dari sebuah apotek mewah. Tanganku membawa sebuah bungkusan berisi beberapa jenis obat.

Bukan aku yang sakit, tapi ayahku. Sebenarnya dia bisa saja menyuruh asistennya, tapi aku tahu dia sengaja menyuruhku. Dia mulai tua dan kadang bermanja-manja padaku. Tiba-tiba minta dibelikan barang lah, minta diambilkan buku lah, minta dipijitin punggungnya lah. Dan hari ini dia minta dicarikan obat untuk darah tingginya yang kumat, beserta beberapa kapsul suplemen impor.

Aku selalu menurutinya. Sekalipun rasanya ingin berkomentar, "kenapa harus aku? Kenapa Ayah gak suruh aja Bastian atau asisten ayah?" Tapi kalimat itu selalu kutahan. Aku tahu walaupun ayah punya ratusan staf yang bisa melayaninya, sebenarnya dia sering merasa kesepian. Sejak Ibu pergi meninggalkan kami, ayah merasa hanya aku satu-satunya yang dia punya.

Kadang kalau kuingat kata-kata kasarku pada ayah saat aku mengamuk setelah melihat undangan pernikahan Erika, aku menyesalinya. Biar bagaimanapun juga, dia ayahku, dan aku tetap sayang padanya.

Usia ayah sekarang 54 tahun. Aku menyaksikan sendiri, ayahku yang dulunya gagah itu, sekarang mulai gampang sakit. Minggu lalu ayahku mulai membahas perpindahan kepemilikan perusahaan ke tanganku. Saat ini ayah masih memegang posisi CEO, sementara aku masih Direktur Utama. Ayah ingin aku menggantikan dia, mungkin dalam tiga tahun lagi.

Itu adalah tanda, kurasa. Ayah mulai kelelahan mengurus 'kerajaan'nya. Aku yang awalnya tak acuh, belakangan mulai berpikir, setelah ayah pensiun, lalu apa yang akan terjadi? Dia akan menikmati sisa hidupnya? Dengan cara apa? Keliling dunia? Apa tubuh tuanya masih sanggup melakukan itu?

Aku tahu setiap orang pasti akan mati, tapi ketika aku membayangkan itu terjadi pada ayahku, aku jadi memikirkannya dengan lebih serius. Jika ayahku mati, semua harta kekayaannya akan jatuh ke tanganku. Lalu jika aku tidak juga menikah, dan aku kemudian mati, ke mana perginya semua pundi-pundi emas itu? Tak ada di antara kami yang bisa memilikinya.

Aku berhenti berjalan dan berdiri di tempat parkir, persis di depan mobil sport merah kesayanganku. Sebuah pikiran mendadak muncul.

Mobil kesayanganku ini juga. Kalau aku mati nanti, akan aku tinggalkan. Aku tidak bisa membawanya.

Pikiran itu membuatku mematung tak bergerak. Menatap mobilku dengan pandangan kosong.

Kadang aku bertanya-tanya, untuk apa kita hidup?

Aku menggelengkan kepala. Kenapa sih aku?

Kakiku berjalan mendekati pintu mobil, dan baru akan membuka pintu, saat kulihat seorang pria paruh baya gelandangan sedang duduk di belakang mobilku, beralaskan kertas koran.

Tanganku melepas kaca mata hitam yang sedang kupakai. "Hey kamu!" kataku.

Pria berjanggut itu menoleh ke arahku. Bajunya compang camping dan kotor.

Aku mengibaskan tangan, berusaha mengusirnya. "Jangan duduk di situ. Mobil saya mau mundur."

Dia buru-buru berdiri dan mengambil kertas koran yang didudukinya, lalu berjalan ke arah trotoar. Aku membuka pintu dan hampir masuk ke dalam mobil, tapi tidak jadi lantaran aku kaget melihat pria gelandangan itu sekarang sedang mengorek-ngorek isi tempat sampah besar yang ada di dekat trotoar.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang