Bagian 189 (Dermawan)

802 152 26
                                    

.

.

Surga adalah kampung halaman orang yang dermawan.

.

.

***

Tuk! Tuk! Tuk! Ujung jari Yoga mengetuk-ngetuk permukaan meja kerjanya. Pagi itu, di depannya duduk Direktur Keuangan. Wajah Han tak kalah galau dengan wajahnya.

Mata keduanya menatap serius ke lembaran laporan keuangan di atas meja.

Pasalnya, pasca penerbitan artikel Danadyaksa Corp. di majalah Bussiness Mag, memang sempat terjadi lonjakan jumlah investor, baik perorangan maupun perusahaan. Bahkan dua di antara perusahaan itu adalah termasuk perusahaan kelas kakap. Keduanya secara aktif meminta divisi pemasaran untuk presentasi di kantor mereka. Dan tanpa kehadiran Yoga di sana, presentasi itu tembus. Walau nominal investasinya tak sebesar perusahaan yang bergabung sebelumnya, tapi tetap lebih baik daripada tak ada pemasukan sama sekali. Namun setelah edisi majalah itu lewat di bulan-bulan berikutnya, dana yang masuk tidak banyak.

Empat bulan telah berlalu. Dengan susah payah, akhirnya dana yang terkumpul mampu menambal pengeluaran untuk tambahan sebulan gaji seluruh karyawan. Empat bulan tersisa menuju akhir tahun. Sementara pemasukan untuk alokasi gaji karyawan dua bulan terakhir, masih belum tampak hilalnya.

Hal inilah yang membuat mereka mulai resah dan gelisah.

Mata Han melirik ke jari bosnya yang sedang mengetuk-ngetuk meja. Gerakan berulang itu membuatnya semakin galau.

Tuk! Mendadak ketukan itu terhenti.

Yoga melipat kedua tangan di depan dadanya. Memejamkan mata bagai sedang bertapa. "Proposal-proposal sudah dikirim?"

"Menurut Pak Wahyu, sudah semua Pak. Kita masih menunggu respon."

Dia menghela napas dengan berat. Ikhtiar sudah dilakukan. Dia sungguh tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Sungguh ...

"Berarti ... aku harus hadir Majelis malam ini."

Alis Han berkerut sejadi-jadinya. "Hehh??"

"Oh maaf. Kalimat itu semestinya di dalam hati saja. Saya kelepasan," jawabnya dengan suara datar.

Pria kurus di hadapannya membetulkan posisi kacamata. "O-oh ... begitu? I-iya Pak."

Dia memberi tatapan iba pada bosnya.

Kasihan ... mungkin karena tekanan, tindak-tanduknya kadang error. Seperti robot yang korslet.

***

Pukul 14.37, Danadyaksa Corp.

Mata Yoga mulai terasa berat. Dia meminta Mieke untuk menyiapkan kopi kedua hari ini, seperti biasa. Tak lama, Pak Muchlis mengetuk pintunya.

"Ya. Masuk Pak."

Pria itu meletakkan cangkir kopi di atas meja.

"Terima kasih Pak Muchlis," ucapnya dengan senyum tulus.

Pria berseragam O.B itu masih berdiri di depannya. Senyum lebar menghiasi wajahnya.
"Maaf Pak. Apa Bapak ada waktu Sabtu ini?"

Yang ditanya tampak heran. "Sabtu? Ada apa ya?"

"Ilyasa sudah menyelesaikan hapalannya. Dia ingin menunjukkannya pada Bapak."

Alis Yoga berkerut. Otaknya yang sedari pagi kusut, makin bertambah kusutnya. "Hapalan ... ? Hapalan ... apa ya?"

Muchlis tampak heran melihat bos besar yang bagai terkena amnesia.
"Hapalan juz 30 Pak. Bapak lupa ya? Hi hi ... "

Dia mematung syok beberapa detik dengan posisi siku menekuk, dan ujung jari menggenggam gagang cangkir.
"HAHHH??? OH ... IYA!!! Masyaallah!! Allahu Akbar!! Ilyasa berhasil??? Alhamdulillah!!"

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang