.
.
"Yunan, apa kamu bersedia jadi anak kami?"
.
.
***
Setahun berlalu setelah Reuni.
Setelah perbincangan serius antara Erika dan Farhan, mereka sepakat untuk memiliki seorang anak angkat. Sebenarnya ini lebih karena Erika menginginkannya. Farhan sudah menyatakan dirinya siap jika mereka sama sekali tidak punya anak sampai kapan pun. Tapi Farhan tahu Erika sebenarnya masih ingin merasakan punya anak. Maka muncullah ide itu. Anak angkat.
Awalnya, mereka sama-sama membayangkan akan mengangkat anak yang masih bayi atau balita. Dengan pemikiran bahwa di masa-masa itu adalah masa yang menurut kebanyakan orang, anak sedang lucu-lucunya. Tapi, akhirnya yang terjadi sama sekali berbeda dengan yang mereka rencanakan.
"Silakan, sebelah sini, Bu, Pak," kata wanita muda berjilbab putih itu membukakan pintu yang ada jendela kaca di sampingnya.
Dari luar jendela kaca, sudah terlihat bayi-bayi yang tidur di dalam keranjang bayi dari kayu. Tapi melihatnya langsung dari dekat, itu lain cerita.
Erika menggenggam tangan Farhan sambil menunjuk ke seorang bayi mungil. "Aww ... lucu sekali, sayang! Coba lihat dia!"
Farhan tersenyum mendengar Erika yang sudah terbiasa memanggilnya 'sayang' bahkan tanpa dia memintanya.
Farhan mendampingi Erika menemui satu demi satu bayi yang telah menjadi yatim piatu. Sebagian dari mereka adalah bayi yang ditelantarkan orang tuanya. Sebagian berasal dari keluarga yang tidak mampu, sehingga akhirnya dirawat di panti asuhan ini.
Setelah satu jam, mereka berdua duduk di bangku panjang di sebuah ruang koridor. Farhan mengelus punggung Erika. "Sayang, jangan dipaksakan. Kalau kamu merasa kurang sreg, kita 'kan tidak harus menandatangani surat-surat hari ini. Kita bisa datang lagi nanti, kalau kamu sudah mantap dengan pilihanmu."
Erika menyandarkan kepalanya di pundak Farhan. "Mereka lucu-lucu, tapi aku merasa belum ... entahlah. Aku merasa ragu. Aku belum bisa memutuskan. Gimana kalau kamu aja yang pilih?"
Farhan mengelus kepala Erika dengan lembut. "Lho kok jadi aku? Ini 'kan awalnya ide kamu, sayang. Nanti kalau kamu sudah pilih, kita didiknya bareng-bareng. Tapi aku mau kamu yang pilih."
Erika menggigit bibirnya. "Ya udah aku pikirkan dulu deh."
Seorang bapak yang usianya 40-an berdehem tak jauh dari mereka berdua. "E-ehm. Maaf, permisi Pak Farhan."
Erika segera menegakkan kepalanya yang tadinya menempel dengan pundak suaminya. Mereka berdua tersipu malu. Farhan menjawab panggilan Bapak itu. "Iya, Pak. Gimana?"
"Tadi Bapak katanya mau tanya soal persyaratan pengangkatan anak?"
"Oh iya, Pak," sahut Farhan segera berdiri. Dia menengok sebentar ke Erika. "Sayang, aku ke kantor admin dulu ya. Kamu keliling aja dulu di sekitar sini ya."
Erika mengangguk. "Iya," jawab Erika. Farhan berlalu bersama staf panti asuhan ke arah kantor admin.
Erika menunduk ke lantai dan menghela napas. Dia menoleh ke koridor yang di ujungnya tersambung dengan taman. Terdengar suara anak-anak tertawa dari arah taman. Erika berdiri dari bangku dan melangkahkan kakinya menyusuri koridor. Sinar terang dari ujung koridor menyentuh kulit wajahnya.
Sebuah siluet anak laki-laki di salah satu ruangan yang ada di sisi kiri koridor, membuat langkah Erika terhenti. Dia menoleh ke ruangan itu. Rupanya ruangan itu adalah kamar tidur, dengan kasur bertingkat di kedua sisi kamar, dan sebuah jendela di antaranya. Anak laki-laki itu sedang menatap ke luar jendela yang berbingkai kotak-kotak. Dilihat dari tinggi badannya, anak itu mungkin berusia sekitar sembilan tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...