(Sebelum) Hujan
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Lalisa terbangun dengan kondisi yang teramat kacau. Entah sudah seminggu atau lebih dari itu ia hanya menghabiskan waktunya didalam kamarnya. Membuka pintu hanya untuk mengambil dengan terpaksa makanan yang dibuatkan Jennie dan Jisoo. Lalisa terpaksa, karena keduanya takan berhenti mengetuk dan berteriak dengan panik. Seolah Lalisa akan mengakhiri hidupnya hanya karena sebuah perpisahan. Tak heran mengapa keduanya berfikir sedemikian rupa karena memang dirinya saat ini terlihat seperti orang yang enggan untuk melanjutkan hidup. Dengan rambut yang berantakan, mata yang bengkak dan menghitam serta piyama yang bahkan tak ia ganti dari hari pertama semuanya berakhir.
Lalisa bangkit, menatap nanar pada figura diatas nakas disamping tempat tidurnya. Lalu mengubah posisi figura itu menelungkup agar ia tak lagi dapat melihat sosok dengan senyuman yang hampir menemaninya setiap waktu yang terbingkai di dalamnya.
Lalisa segera mandi dan merapikan dirinya. Ia harus menyudahi segala sikap bodohnya ini.
Jennie dan Jisoo hampir tak percaya melihat Lalisa keluar dari kamarnya dalam keadaan baik. Gummy smilenya bahkan sudah kembali melekat di wajahnya. Keduanya memang sengaja menginap di apartemen gadis berponi itu sedangkan Rose, ia bukanlah gadis tegar yang dapat menyembunyikan perasaannya, akan lebih baik untuknya tidak dulu berada disini. Kedua orang tua Lalisa sendiri berada di negara berbeda dan mereka belum bisa kembali dalam waktu dekat.
"Eonnie, temani aku menemui Hanbin oppa setelah ini."
Aktifitas makan keduanya sontak terhenti, keduanya saling menatap. Jennie menunduk, Jisoo yang memulai pembicaraan, "Tidak usah, nanti-nanti saja ne?"
"Tidak bisa eonnie, aku harus menemuinya dan memperlihatkan diriku kalau aku baik-baik saja."
"Tapi La-"
"Pokoknya aku akan menemuinya Jennie eonnie"
Jisoo mengelus pelan lengan Jennie dibawah meja makan. Mengangguk pelan dan menenangkannya tanpa berkata.
"Baiklah, kami akan menemanimu."
******
Lalisa mengernyit heran, menatap gundukan tanah beserta nisan dihadapannya.
"Apakah kalian sedang bercanda?" Jennie maju lebih dekat pada Lalisa. Mengamit satu tangan bebasnya, "Hanbin oppa yang terbaring disana, begitulah kenyataannya." lirihnya. Mungkin tanpa genggaman tangan Jisoo pada tangannya yang lain Jennie takan sanggup untuk mengatakannya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Lalisa nantinya.
Lalisa memuntahkan tawanya, "Hahaha. Seminggu yang lalu kami bertengkar, lalu putus. Itu kenyataannya." Jennie menggeleng, "Tidak Lalisa, kalian tidak pernah bertengkar dan memutuskan hubungan. Inilah kenyataannya." Jisoo makin mengeratkan genggamannya, ia bahkan mendekat dan berusaha menenangkan Jennie.
"Jangan hanya karena kau adiknya, kau mencoba melindunginya saat ini eonnie. Aku akan menemuinya sendiri. Pasti dia sedang bersembunyi dirumah Bobby oppa." keduanya tak menahan Lalisa untuk pergi. Mereka sendiri bingung bagaimana harus bersikap di saat seperti ini.
Jennie jatuh berlutut dihadapan makam sang abang. Ia merunduk menumpahkan segala perasaan yang ia tahan mati-matian demi agar sahabatnya itu baik-baik saja.
"Kenapa kau pergi dengan cepat bodoh! Aku sudah melarangmu untuk pergi malam itu. Kenapa tak menuruti kata-kataku! Sekarang apa yang harus aku lakukan?!--
"Bagaimana aku membuat Lalisa-mu mengerti."
Jisoo mendongak. Menatap langit yang sudah menghitam. Saat-saat yang selalu membuat Lalisa dan Hanbin girang bukan main. Ia ikut berlutut, merengkuh bahu bergetar Jennie. Diam-diam gadis itu ikut terisak. Senyuman Lalisa pagi ini, bukanlah tanda bahwa ia sudah baik-baik saja. Ia hanya mencoba menyangkal segala kenyataan dengan skenario yang ia buat sendiri didalam kepalanya.
Nyatanya ini bukan perihal perpisahan yang hanya memutuskan ikatan tapi juga raga.
Jakarta, 18 februari 2020
Pukul 11:32
-nurafyani-*****
Ini sebelum 'Hujan' one shoot nya Lalisa sama Jungkook
Vote dan comment monggo
KAMU SEDANG MEMBACA
AL-KISAH
Teen FictionNote: Kumpulan one-shoot fanfiction Lalisa dengan para pria-nya mari berlayar!