RASA KASIHAN
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Terbiasa hidup pongah diatas langit, kini Lalice harus merasakan tergoler lemah didasar bumi. Rumah dan mobil mewahnya disita, sedangkan ayahnya masih dalam proses penyelidikan atas kasus korupsi yang menyeret namanya.
Lalice tetaplah Lalice, ia akan tetap hidup sebagaimana apa yang ia inginkan dan impikan. Tak perduli dengan keadaan apapun yang ia hadapi kini. Gadis itu tetap berusaha pergi kesekolah dengan barang-barang brandednya dan melakukan cara apapun agar bisa tetap berangkat dengan mobil mewah seperti biasa meski harus menyewanya. Lalice mencukupi semuanya dengan menjadi pelayan disebuah kafe seusai sekolah. Tidak ada yang lebih penting--bahkan isi perutnya sekalipun dari pandangan orang terhadapnya. Ia selalu ingin dipandang sebagai Lalice yang sama, anak tunggal seorang duda terkaya. Dihormati dan disegani banyak orang. Bukannya mendapatkan pandangan dan elusan rasa kasihan dipunggungnya.
Lalice menghela nafas pelan, mematut dirinya pada pantulan cermin. Tangannya terulur menyampirkan helai rambutnya yang berwarna cokelat gelap kebelakang telinganya, melihatkan anting keluaran terbaru yang baru saja ia beli dari hasil jerih payahnya menjadi badut di sebuah acara ulang tahun dan membagikan brosur restaurant di pinggir jalan minggu lalu. Dagunya perlahan terangkat, ia mengubah wajah lelahnya jadi senyum pongah yang kontras dengan make up tegas yang membalut wajahnya.
"Woah Lalice! Kau benar-benar hebat!" ketiga temannya menatap takjub pada anting yang kini Lalice tunjukan. Gadis itu bilang akan membelinya dan ucapannya terbukti. Semula teman-temannya sempat tak ingin lagi berteman dengannya terlebih dengan kabar kebangkrutan ayahnya yang sudah meruak ke seantero sekolah.
"Gue udah bilang kan ayah gue belum terbukti bersalah, hartanya masih banyak. Well, gue masih bagian dari kalian kan?"
Jennie merangkul bahunya, "Apakah ada jawaban selain yes, friend?" gadis bermata kucing itu terkekeh pelan dengan penuh wibawa, ibunya adalah pemilik perusahaan fashion ternama. Bisa dilihat dari bagaimana apiknya gadis itu berpakaian dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Baiklah, ayo ke kantin! Gue udah laper." gerutu gadis berambut blonde dengan suara lembutnya. Dia terlahir ditengah keluarga seniman yang cukup berpengaruh. Mereka adalah anak-anak beruntung yang terlahir disambut kekayaan.
Lalice perlahan melepaskan diri dari rengkuhan Jennie, gadis berponi itu mengibaskan tangannya, "Kalian pergi saja, seperti biasa gue lagi diet dan bawa bekal sehat dari rumah."
"Oki doki beb! Dietlah sampai tulangmu hanya terbungkus kulit, Lalice sayang!" cibir Rose sebelum ia merangkul Jennie dan mengajaknya pergi dari sana. Jennie hanya melambai lalu mengikuti kemana Rose menariknya.
Diet? Lalice menertawakan dirinya sendiri. Dia hanya berusaha berhemat dan menghindari tradisi traktir mentraktir seperti kebiasaannya dengan Jennie dan Rose sebelum ia berada di titik terendah seperti saat ini. Gadis itu menghempaskan bokongnya di atas kursi taman belakang sekolah dan mendengus pelan ketika membuka tutup kotak makannya.
"Lama-lama gue bakal berubah jadi kambing! Oh tuhan gadis malang ini sudah mulai lupa bagaimana rasanya daging." Lalice terus menggerutu sambil berusaha mengunyah sayuran didalam mulutnya meski ia enggan. Sedang sibuk mengunyah, hidung Lalice merengut mengendus aroma lezat bersamaan dengan sepasang kaki terhenti dihadapannya. Gadis itu membawa kepalanya mendongak, guna melihat sang empunya kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
AL-KISAH
Teen FictionNote: Kumpulan one-shoot fanfiction Lalisa dengan para pria-nya mari berlayar!