Putih Abu #Prolog

20.8K 579 21
                                    

Seluruh murid taman kanak-kanak di pinggir jalan berhamburan keluar setelah bel pulang sekolah berbunyi. Mereka terlihat berlari tergesa-gesa menghampiri kendaraan yang sudah menantikan kepulangan makhluk kecil menggemaskan ini.

Kecuali sepasang kanak-kanak sebaya dengan seragam berwarna hijau yang melekat di tubuh masing-masing. Malah memilih duduk di bangku bawah pohon dengan tempat makan berisi camilan manis di pangkuan. "Ana. Mau kue gak?" tanya anak laki-laki yang mengenakan topi senada dengan seragam hijaunya.

"Aku bawa kok. Rasa strawberry lagi kesukaan aku," keduanya saling menawarkan satu sama lain. Berbagi macam rasa yang mereka punya.

 Berbagi macam rasa yang mereka punya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau ada susu. Jadi lebih enak pasti," anak laki-laki yang mempunyai eye smile ini Jeno namanya. Lengkapnya tertera Rajeno Putra Aditya di seragam. Setiap sedang bicara kedua matanya selalu membentuk senyuman yang manis.

"Aku bawa susu!" di sebelahnya ada seorang gadis lugu. Di panggil Ana sedari tadi. Sering menghias kuncir kuda di surainya menggunakan pita sewarna dengan seragam. Tertera nama lengkap Paramitha Anandhin pula di saku bajunya.

Alasan kenapa Ana duduk berdua bersama Jeno di sana. Bukan lain bukan tidak adalah karena ibu mereka yang belum kunjung datang menjemput. Berhubung rumah Jeno dan Ana bersebelahan. Kesimpulannya. Orangtua siapapun yang datang ke sana lebih dahulu mereka tetap bisa pulang bersama-sama. Karena satu arah dan jurusan membuat mereka terlihat selalu berdekatan.

"Ibu kok belum dateng-dateng sih?" Ana sendiri adalah gadis yang tidak banyak bicara. Tidak banyak bicaranya jika sedang bersama orang lain. Bisa dikatakan orang lain itu adalah teman yang tidak dekat dengan Ana. Kecuali anak laki-laki di sebelahnya ini. Seorang Jeno yang selalu mengajaknya bicara dan tidak pernah bosan memunculkan topik pembicaraan.

Kalau boleh di katakan. Jeno memang bukan cuma sekedar tetangga saja. Namun adalah teman pertama yang bisa di ajak berkomunikasi dengan baik. Anak laki-laki yang selalu mengerti dan mau menghampiri Ana di saat keadaan apapun atau sedang di manapun.

"Oh─ itu Mama ku!" Jeno beranjak dari kursi. Rasa semangatnya jadi tertular kepada Ana yang buru-buru bergerak memasukkan kotak makan ke dalam tas ransel. "Ayo! Na," ajak Jeno. Tanpa sadar karena tidak mau Ana ketinggalan. Jeno menarik lengan Ana dan berlari bersama.

Kedua kanak-kanak berseragam hijau itu saling berpegangan tangan. Mereka bersama-sama menghampiri kendaraan yang menjemput dengan langkah kaki yang senada. Betapa manisnya masa
kecil kedua anak ini. Hingga membuat seorang ibu tersenyum lebar memandangi mereka dari kendaraan roda dua yang di dudukinya.

"Aduh, udah nunggu lama yah? Maaf Mama tadi kena macet di jalan," keluh Mama Jeno.

Sembilan Tahun Kemudian.

"Nggak lama kok. Aku juga baru aja keluar Bu," tutur seorang Ana. Yang dahulu kala masih terlihat muat mengenakan seragam taman kanak-kanak berukuran kecil berwarna hijau. Dan, sekarang gadis ini telah tumbuh dewasa dengan rok biru selutut di pinggang nya.

Sembilan tahun sudah berlalu. Rasanya memang terlalu cepat bagi mereka yang hanya melihat atau menyaksikan dengan mata kepala mereka. Namun, bagi Ana yang menjalaninya sendiri. Telah berjalan terlalu lambat karena harus berpisah temu dengan Jeno semenjak duduk di bangku sekolah dasar.

Anak laki-laki itu melanjutkan ke sekolah berbasis swasta. Sedangkan Ana kukuh ingin masuk negeri. Entah alasannya apa. Yang pasti tujuan sepasang anak bertetangga ini ternyata sudah berbeda sejak dini. Jeno tak pernah sekali menyapa Ana pula. Hingga terdengar kabar kalau laki-laki itu mendaftarkan diri di sekolah swasta lagi untuk melanjutkan pendidikan SMP. Sampai, waktu kelulusan pun sudah tiba di depan mata.

Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Apa kabar Jeno? Ana tidak tahu sama sekali tentang itu.

Ingat terakhir kali melihat Jeno saja entah kapan. Bagaimana bisa mengetahui kabar? Seorang Ana sedang beranjak dari masa kanak-kanak menuju remaja. Ingatan soal Jeno dahulu kala terlalu manis untuk terus terbayang dalam pikirannya. Perasaan yang awalnya hanya di cap teman. Sekarang sepertinya sedang perlahan-lahan berubah menjadi rasa ketertarikan yang berbeda. Terasa agak aneh tapi sangat nyata.

Tidak banyak memang. Ingatan seorang Ana tentang Jeno. Intinya mereka pernah bahagia dan sering pula menghabiskan waktu kanak-kanak bersama. Namun, satu yang paling Ana ingat mengenai Jeno adalah rupawan dan baik hatinya laki-laki itu. Wajahnya tampan. Kulitnya putih. Matanya selalu ikut tersenyum, jika bibirnya sedang menampakkan senyuman ramah. Jeno terlalu sempurna untuk digambarkan dengan kata-kata. Menurut Ana.

Taman kanak-kanak yang menyenangkan berlalu secepat hembusan angin. Masa sekolah dasar pun tidak terlalu indah seperti apa yang ada di ekspektasi. Tapi, masa-masa sekolah menengah pertama ini agak lumayan. Karena Ana bertemu beberapa sahabat-sahabat terbaiknya di bangku tersebut. Dan entah pula dengan SMA nanti. Mungkinkah sekolah tingkat selanjutnya itu akan mempertemukan Ana dan Jeno kembali? Ya mungkin saja. Kalau berjodoh.

Sekarang Ana melamun menatapi jalanan. Laju kendaraan roda dua yang di kuasai oleh sang ibu terlalu lambat. Membuat angin perlahan-lahan mempersilahkan para pelintas untuk menikmati sejuk nya. Tapi ditengah kegiatan menikmati angin nan sejuk tersebut. Kepala Ana masih memikirkan soal ujian nasional yang sebentar lagi akan di laksanakan. Cemas dan tidak percaya diri selalu melanda belakangan ini. Padahal Ana adalah tipe gadis yang cenderung cuek pada nilai sekolahnya. Namun tetap saja ujian nasional berhasil membuat tegang siapapun yang akan menghadapinya nanti.

"Ana. Kamu udah makan belum?" celetuk ibu Ana. Bertanya sambil mempertahankan kemudi kendaraan. Sepasang matanya fokus menatap jalanan. Tapi hati dan pikirannya hanya mencemaskan kondisi putri bungsunya.

Lamunan Ana terpecah, "Udah─ pagi tadi sih," Angin kembali menerbangkan helaian surainya.

"Loh?! Sekarang kan udah siang gini. Berarti otomatis kamu belum makan siang dong?"

"Biarin ah. Aku diet Bu!" Kaca spion di bagian sebelah kiri stang kemudi, sengaja ibu Ana belokkan agar bisa menatap putrinya dari sana. Kerutan dahi yang ditunjukkan ibu berhasil sekali membuat Ana mendecak kecewa. "Ck. Serius!"

"Ya tapi tumben. Kamu kan paling anti sama diet-diet. Katanya love yourself."

"Ih, iyalah, bentar lagi kan aku SMA. Siapa tau satu sekolahan sama Jeno. Jadi harus keliatan lebih bagus daripada pas kecil terkahir kali dia liat itu," Ana sudah terang-terangan mengakui perasaannya. Membuat semua orang tahu kalau itulah kelemahan seorang Ana. Sang ibu yang paham. Tak mau berkomentar. Dari kaca spion kelihatan hanya mengangguk saja.

"Padahal nih ya. Kalo kangen tinggal nongol depan pintu. Ngapain pake berharap satu sekolah segala?!" Ana tahu betul kalau sang ibu sedang meledeknya. Apalagi sekarang ibu terlihat menyembunyikan senyuman simpul.

"IHHH─ IBU!"

Mau tau Ana bakal satu sekolah sama Jeno atau ngga? baca terus Putih Abu, yang inshAllah up setiap author-nya mood :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mau tau Ana bakal satu sekolah sama Jeno atau ngga? baca terus Putih Abu, yang inshAllah up setiap author-nya mood :)

jangan lupa tinggalkan voment yahhh...
sama maaf banget buat kalian yang sudah baca Putih Abu! dari awal publish. Maaf karena buku ini lagi di revisi tanpa unpublish, jadinya terus berubah-ubah kalimat sama tanda bacanya, di mohon untuk menyimpan ulang ke perpustakaan karena pasti perbedaannya gak bakal kentara kalo kalian stay save gitu─ sekian!

Putih Abu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang