71. Di Jalur Pendakian

97 26 3
                                    

"Menahan cemburu itu menyesakkan. Apalagi, sudah dilupakan oleh orang yang padahal sangat dispesialkan."

Setelah memperkenalkan dirinya sendiri, kak Bubun memperkenalkan dua rekannya, yaitu Atul dan Adol. Mereka adalah siswa yang masih duduk di bangku SMK katanya bertemu di tempat prakerin. Mendaki gunung juga adalah hal yang baru bagi mereka. Jadi, bisa dibilang pemula, setelah acara perkenalan berakhir, pak Santo mulai membagi dua kelompok. Untung saja Acha satu kelompok dengan Devid, tetapi Devita juga ada bersamanya, kecuali Bram, lelaki itu ada di kelompok dua bersama pak Santo.

Sebelum mendaki. Mereka semua berfoto dahulu tepat di depan gapura yang bertuliskan, Ciremai via Apuy. Paling meresahkan dan cerewet di antara yang lainnya adalah Devita ia sangat tidak puas dengan hasil jepretan Bram. Hingga, jam pendakian harus berubah karena momen itu. Beberapa juga ada yang membawa barang yang seharusnya tidak dibawa, padahal katanya hanya untuk bermain saja. Setelah semuanya aman, mereka pun bersiap menelusuri track di depan.

Bram dan Devid itu sudah pernah menaklukan Ciremai, merekalah yang menjadi orang penting setelah kak Bubun, pak Santo dan pak Bagas. Selesai membagi kelompok, semua persiapan sudah dicek kembali. Tanpa Acha sadari, Bram membisikkan pesan kepada Devid, untuk menjaga Acha dengan baik. Walaupun nanti, saat di puncak mereka akan kembali bersama. Devid mengangguk mengiyakan, lalu kelompok satu pun berangkat, sebelumnya diberi arahan dan berdoa sesuai kepercayaan masing-masing.

Dalam catatan, waktu tempuh dari basecamp ke pos 1 sekitar 1 jam, tetapi itu juga bagaimana fisik seseorang. Apalagi sekarang, mengingat Acha yang bisa dibilang pemula. Posisi mereka sangatlah membuat Acha mual melihatnya, dari ujung depan sebagai navigator kak Bubun memimpin, tadinya Devid ditunjuk sebagai leader, sayangnya ia menolak dan digantikan oleh Syahril, lalu diselingi oleh beberapa anggota lain sebagai followers, sampai Devid, Devita, Acha, dan di belakang chef Ikhsan yang terkenal masakannya super lezat, logistik dibawakan oleh Wisnu dan terakhir sweaper paling belakang adalah pak Bagas.

Awal perjalanan masih menginjak tanah basah dan licin, tadi malam sempat hujan beberapa menit. Embun pagi juga terlihat menggantung menjadi hiasan yang menemani perjalanan. Acha merasakan kesegaran yang baru terasa, seolah berada di bagian daerah yang belum dijelajahi manusia. Di depan, terlihat pepohonan yang rindang. Semuanya masih aman sampai kakinya terasa pegal. Di depan, Devita sama-sama menjaga mulutnya, ia tidak banyak berbicara dengan Devid seperti biasa.

"Semangat! Taklukan, Ciremai!" seru kak Bubun di depan.

"Semangat!!" seru followers lain dengan lantang.

Devid yang pernah menaklukan Ciremai lewat jalur Apuy tersenyum kecil. Ia tahu, temannya di belakang pasti menahan napas dalam-dalam. Ingin berteriak lelah, tetapi baru menempuh perjalanan kurang setengah jam. Namun, ia percaya Devita bukan perempuan yang manja, hanya keringetan lalu ingin cepat dilap tisu yang harum. Dia perempuan yang bisa dibilang sedikit bodoamat, tetapi tetap juga menjaga kecantikannya.

Mengingat, setiap minggu Devita harus merawat rambut pirangnya itu ke salon. Bukan hanya bergaya, ia juga ingin penampilan di atas panggung terlihat menawan. Wajahnya itu perpaduan Cina dan Indonesia. Sedikit sipit dari matanya, sedangkan Bibir kemerahan miliknya tipis, tapi menggemaskan. Pikiran Devid beralih kepada anggota baru, di mana ia juga penyelamat Devita bisa mendaki gunung Ciremai. Karena posisi mereka tidak berdekatan, dengan jarak kurang lebih satu meter, Devid bisa berbalik menatap orang-orang di belakang.

Kening lebar Devita terlihat dipenuhi keringat, bando hitam menjadi penahan agar rambutnya tidak bepergian ke sana ke mari, sedangkan ikatan rambut di belakang menjadi jalan ninja menahan rasa gerah. Perempuan pemilik bibir tipis itu menatap fokus jalanan tanah sedikit becek itu, lalu tatapan Devid beralih kepada perempuan yang berada di belakang Devita. Tadi, sempat ingin berkenalan, tetapi tidak jadi. Dari raut wajahnya, Acha sedikit ragu menginjakkan kakinya, sedikit bibir Devid menyunggingkan seulas senyum, dipastikan perempuan itu juga pemula.

Tidak terasa, Pos 1 berada di depan, mereka beristirahat sebentar lalu mengecek air minum. Karena, di sanalah mata air satu-satunya sebelum harus meninggalkan, menuju pos lainnya dan sampai ke puncak. Mereka melakukan perjalanan tidak sesuai waktu yang ditentukan yang awalnya start 10.00, sampai di Post 1 Arban pukul 11.30 mengingat kebanyakan berhenti sejenak karena ada dua perempuan yang masih pemula. Kak Bubun memerintah terlebih dahulu untuk Solat Duhur berjamaah saja, dengan cepat mereka pun menurut.

Selesai solat, kembali dilanjutkan perjalanan. Dari yang pak Santo berikan, jangan sampai memaksakan perjalanan hanya karena mereka pernah dan merasa kuat, lalu melupakan orang yang baru menginjakkan kakinya di tahah Ciremai. Jadi, ia tidak terburu-buru, ingatannya tertuju kepada pepatah 'Gunung takkan lari dikejar' intinya biasa saja dalam perjalanan, jangan seolah takut gunung akan lari. Jika, kita tidak cepat berjalannya. Dari sana, Acha merasakan pertemanan yang erat, di mana ia kesulitan menanjak, ada teman di belakang yang siap siaga. Namun, ia juga harus menekan kenyataan pahit.

Kedua tangan kekar Devid selalu ada untuk Devita. Mereka jangan diragukan lagi, apa yang telah terjalin. Dipastikan adalah berpacaran. Maka dari itu, perjalanan panjang yang Acha lalui terasa mati rasa. Senang tidak dirasakan, keindahan alam seolah lenyap karena kemesraan Devid dan Devita. Ia ingin berteriak, mengingatkan bahwa Devid miliknya. Namun, semua tidak bisa segampang itu, sampai mereka berhadapan dengan pohon-pohon tinggi dengan akar akar yang mencuat keluar. Jalannya pun bukan lagi datar, sekarang menanjak dan untungnya ada sebuah webbing atau tali untuk memudahkan pendaki melewati jalur itu.

Satu per satu mereka naik, terik matahari yang menyengat, membuat tanah kering di sana beterbangan. Mereka pun dengan pasrah menyumpal kedua hidungnya. Sampai juga di pos 2 Tegal Pasang, tepat pukul 14.00 kak Bubun menyarankan untuk membuka perbekalan makan sekarang. Karena, di depan akan semakin curam track-nya. Lagi, mereka hanya beristirahat di pos berikutnya hingga sampai di pos 5. Acha menelan ludahnya kasar, teman dekatnya berada di rombongan belakang dan sekarang ia harus berbagi keluh kesah dengan siapa? Ia dengan enggan membuka perbekalan, sampai Devita datang menghampiri.

"Gabung, yuk!" ajaknya, sambil menunjuk ke nasi miliknya yang berada di samping Devid.

Acha mendongak dan ragu untuk menjawab. "Ayo!" lanjut Devita.

Acha hanya pasrah diajak teman barunya itu. Beberapa lelaki yang mengikuti pendakian, menatap Acha menilai, terlihat pendiam dan menutup diri. Devid menatap kedatangan Acha yang malu-malu. Ia pun menggeser duduknya, lalu Acha berada di lingkaran kecil mereka. Devita dengan lahap menyuapkan nasi dan daging ayam ke mulutnya, ia merasakan lapar yang sangat tidak bisa ditahan. Saat tangannya siap menelan air yang dibawanya, Devid mengingat perjalanan mereka masih panjang.

"Jangan banyak-banyak, di atas gak ada mata air," pesannya.

Devita menelan ludahnya kasar. "Iya, gua minum dikit, nih!" ketusnya.

Acha tersenyum kecil. mungkin dulu ia juga terlihat lucu, ya, bersama Devid yang sering melanggar-langgar. Mengingat lagi, lelaki itu sangat digilai perempuan hingga sampai sekarang. Setelah waktu makan dan istirahat habis, mereka kembali melanjutkan perjalanan dan sekarang, anehnya Devid berada tepat di belakang tubuh Acha yang tiba-tiba grogi dan kaku. Melihat temannya pindah tempat, Devita mendengkus, tahu kelakuam playboy Devid, ia akan mendekati Acha pastinya.

"Cha, jangan tergoda sama gombalan recehnya," bisik Devita, memperingati Acha.

"Siapa yang ngegombal?" tanya Acha, pura-pura tidak tahu.

Devid mengetahui bisikan Devita, ia pun menimpal, "Apa lo? Iri? Bilang, Bos!" kekehnya, ah, Acha mulai gemas dengan ekspresi Devid kala terkikik seperti itu.

Bola matanya yang bulat dengan alis hitam legam memperlihatkan ketampanan sesungguhnya. Belum lagi, sekarang headbad warna hitam menjadi pelengkap. Jadi, rambut tebalnya yang biasa dengan gaya dimiringkan ke samping tidak lagi beterbangan ke sana ke mari. Acha segera tersadar, ia memalingkan wajahnya dan perjalanan masih berlanjut, melewati pos 3 Tegal Masawa, lalu di depan sana pos 4 Tegal Jamuju. Terdapat pohon menutupi jalur juga ada lahan luas yang landai, tetapi jarang pendaki mendirikan tenda di sana. Kebanyakan langsung di pos 5 atau bayangannya.

Sabar, Cha, ada aku di sini yang tetap support kamu.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang