122. Ditolak? Coba Lagi

59 9 2
                                    

"Bukan sesuatu yang teramat sulit untuk digapai. Apalagi orang paling istimewa baginya benar-benar hilang, lima tahun berlalu bukanlah waktu yang pendek."

Bukan mencintai dalam diam yang selama ini Bram pendam. Ia dengan gambang memperlihatkan, bahwa sangat peduli akan kehidupan Acha yang masih kukuh dengan pendirian. Berharap Devid kembali selamat, setelah dinyatakan hilang. Terkecuali sebuah cincin pernikahan mereka. Pertanyaannya, mengapa tersemat di jemari penumpang lain? Ah, maksudnya masih orang Indonesia. Namun, mengapa tidak Devid saja yang ditemukan?

Kemungkinan berakhir kecewa karena Devid benar-benar telah meninggal dunia. Sekarang Bram masih terpaku menatap lalu lalang pejalan kaki. Hujan kembali datang menepi, segelas kopi kapucino mengepul di atas meja sendiri. Begitu juga Bram, tanpa seseorang yang setia menemani. Tentu saja, ia selalu menolak halus beberapa perempuan yang ingin mendekatinya. Alasan yang selalu diucapkan adalah sedang menjaga hati.

Untuk siapa? Untuk Acha yang sama sekali tak pernah memberikan kesempatan baginya untuk menemani dalam kehidupannya. Bram menarik napas berat, selain tatapan genit dari beberapa teman kantornya. Ia juga mendapat banyak pesan masuk di setiap detik, menit dan waktu. Setelah ia melamar kerja di sebuah perusahaan besar dan hanya menemukan bayang perempuan kegatelan, Bram memilih keluar dari kekangan aturan kantor.

"Gua balik lagi nge-guide aja, Vin, gak tau kenapa satu cewek yang gua suka tetep, dia. Semakim ada banyak cewek yang mencoba mendekati, gua langsung ilfeel," jelas Bram waktu lalu, menjawab pertanyaan teman kantornya.

"Padahal, Bos, udah wanti-wanti ke gua, Bram! Lu bagus kalo diajak meeting, apa pun yang diperintah sesuai keinginan. Asal lo tau, bahkan gua iri tauk lo sepinter itu!" balas Devin, ia juga mencoba merayu Bram agar masuk kantor lagi.

Namun, Bram tetap menolak. Ia lebih baik dianggap pengangguran saja. Walaupun sebenarmya ia tetap bisa hidup bebas dengan uang hasil memotret juga menjadi guide setiap gunung yang diinginkan penyewa. Hampir, semua rasa sakit karena menerima penolakan Acha ia lampiaskan menaklukkan puncak tertinggi daratan. Pulau Jawa sampai luar pulau Jawa pun sudah ia rasakan bagimana kesannya. Selalu, dalam doa setiap sampai di titik puncak ia berharap Acha menjadi partner mendakinya nanti.

Di saat Bram menenangkan diri diiringi suara hujan, ia menemukan ide yang brilian. Sesungging senyum mengakhiri lamunan panjang. Segera beranjak pergi dari kafe, menancap gas cepat pergi menuju rumahnya. Di mana ia sudah menyiapkan kado kedua untuk Devit. Bocah mungil yang sudah menganggapnya mungkin sebagai ayah? Bram berharap begitu. Toh, Bram juga yang mengazani Devit waktu bayi.

Sesampainya di rumah, ibunya kembali menyambut hangat di setiap melihat anak bungsunya itu pulang. "Dari mana saja kamu, Bram? Tadi ada teman kantormu datang," ucap Bu Lastri, seraya menyambar remot tv.

Bram berbalik sebelum masuk ke dalam kamarnya. "Ma, Bram 'kan udah bilang, gak bakal kerja lagi, kan?"

Bu Lastri menarik napas panjang. "Kamu ini, harapannya mau nikahin anak orang, tapi gak punya kerjaan. Apa yang harus kamu banggakan? Tampang?"

"Bukan gitu juga, Bram lagi banyak proyek. Bram, memang gak kerja di kantoran, tapi bukan berarti Bram pengangguran, Ma ...." Ia pun segera masuk ke dalam kamar, menemukan kotak hadiah berisi mobil remot mahal untuk Devit.

Di luar kamar, Bu Lastri mulai terbiasa dengan tingkah anaknya itu. "Terserah kalo gitu, yang mau jalanin juga kamu."

Bram segera membawa kotak hadiahnya, tanpa memberitahukan kepergiannya kepada sang ibu, ia segera masuk kembali ke dalam mobil. Bukan langsung pergi ke apartemen Acha. Namun, ia punya ide, bukankah Devit sudah besar di umur 5 tahunnya ini? Tentu saja, Bram bisa mengajak bocah itu pergi berlibur, merasakan udara pegunungan yang membuatnya candu.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang