135. Hipotermia

29 4 0
                                    

"Buah hati yang ditakutkan pergi, seperti dia yang kembali pergi tak kembali."

"Bram, dia hipo? Bra—"

"DIEM, CHA!" potong Bram menghentikan pertanyaan penuh ketakutan Acha dan itu salahnya.

Kedua mata Acha sudah penuh air mata. Bram jadi tidak enak, ia pun berucap, "Sorry." Bram memilih kembali berjalan, mencoba menembus dinding putih kabut yang menyelimuti.

Mereka berdua takut Devit terkena hipotermia. Apa itu? Hipotermia merupakan kondisi saat temperatur tubuh menurun drastis di bawah suhu normal yang dibutuhkan oleh metabolisme dan fungsi tubuh, yaitu di bawah 35 derajat Celsius. Kondisi ini harus mendapatkan penanganan segera, karena dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf dan fungsi organ lain dalam tubuh. Selain itu, kondisi ini juga dapat berujung pada kegagalan sistem pernapasan, sistem sirkulasi (jantung), dan kematian.

"Bangun, Dev, bangun."

Bram hanya mampu bergumam sambil sesekali menepuk-nepuk pipi Devit. Tubuh di pelukannya itu benar-benar membeku, penyebab umum hipotermia adalah paparan suhu dingin atau air dingin dalam waktu yang lama tanpa perlindungan yang cukup, misalnya akibat berada terlalu lama di tempat dingin, jatuh ke kolam air dingin dalam waktu lama, mengenakan pakaian yang basah untuk waktu cukup lama, suhu pendingin ruangan yang terlalu rendah, terutama pada bayi dan lansia, dan tidak mengenakan pakaian yang tepat saat mendaki gunung.

Setelah susah payah menggendong Devit dalam keadaan tidak sadarkan diri, akhirnya Acha dan Bram berhasil keluar dari kumpulan kabut putih yang sangat tebal menghalangi pandangan. Beruntung Bram masih mengingat rute, juga hanya tinggal lurus berjalan tanpa tanjakan lagi. Karena mereka sudah sampai di atas puncak, tempat beberapa pendaki mendirikan tenda. Angin sore itu terasa mengguncang, membuat tubuh harus terpaksa menahan gigil.

Lima tenda sudah berdiri kokoh, Atul dan Risa yang melihat Bram dan Acha tergopoh-gopoh segera berlari menghampiri. Tanpa bertanya ada apa sebenarnya, Atul segera tahu keadaan Devit yang ada di pelukan Bram. Kedua mata bocah itu tertutup rapat. Pertanda keadaan semakin memburuk. Mereka sampai berada di puncak tepat pukul 03.15 waktu yang sangat tak diharapkan.

Untuk kasus Devit yang tidak sadarkan diri dalam keadaan dingin membeku, Bram mengingat catatan bukunya ia harus membawanya ke dalam tenda. Tujuannya untuk menjaga dari angin yang berhembus, tenda juga adalah tempat yang cukup hangat ketika berada di alam bebas. Irsad segera mempersilakan Bram masuk ke dalam tenda.

"Jangan sampe dia hipo!" seru Bram, seraya membuka satu per satu baju yang dipakai Devit. Penggantian baju dilakukan dengan perlahan, pastikan tidak terburu-buru. tiba-tiba ia teringat akan keadaan Acha. "Acha!"

Acha yang ada di belakangnya mendekat. "Kenapa?"

Bram mendongak. "Ganti baju, jangan sampe lo kedinginan!"

Atul dan Risa segera menarik Acha mendekati tenda lain. Dalam keadaan gawat di mana Devit benar-benar tak sadarkan diri, suasana semakin kacau. Dari angin dan hujan yang tak memberikan waktu untuk mereka, hingga melupakan keadaan Bram yang sama kedinginan. Namun, tetap fokus akan keadaan Devit sekarang. Ia segera memasukkan Devit ke dalam sleeping bag. Untuk menjaga panas tubuh yang tersisa tidak mudah lepas begitu saja.

"Dev ...." Bram mulai berbagi panas tubuh, dengan cara mulai memegang tangan Devit.

Bisa juga dipeluk, panas tubuh akan mudah berpindah ketika menempel ke tubuh lainnya (kulit bertemu kulit). Dari tenda lain, Irsad membawa sekotak P3K termasuk benda yang sedang dibutuhkan sekarang adalah emergency blanket. Atau selimut yang dapat mengisolasi panas tubuh manusia. Ada juga yang menyebut emergency blanket dengan nama survival blanket atau rescue blanket. Umumnya, emergency blanket terbuat dari campuran bahan poliester atau jenis aluminium lainnya. Emergency blanket juga bersifat waterproof dan windproof.

Fungsinya seperti selimut yang menyelubungi seluruh tubuh sehingga korban tidak kehilangan panas di dalam tubuh. Alat ini biasanya disertakan dalam kotak perlengkapan darurat di dalam ransel. Karena cuaca tidak mudah diprediksi, adanya emergency blanket akan sangat membantu pada situasi darurat. "Dev, bangun, Dev," gumam Bram, masih sibuk mencoba menghangatkan tubuh Devit yang sudah beselimutkan EB.

Langkah selanjutnya untuk menyadarkan korban. Bram segera menepuk-nepuk pipi dan memanggil nama Devit. Namun, usahanya tetap tak membuahkan hasil juga.

"Lo juga kedinginan, Bram!" Irsad menatapnya khawatir.

"Gua gak bisa ninggalin dia, Sad, sorry."

Irsad menepuk bahu Bram. "Ini demi lo juga, udah biar gua yang urus! Walaupun lo ngerasa kuat, kita gak tau kapan hipo itu datang," pesannya.

Setelah menatap keadaan Devit yang sama sekali belum memberikan perubahan, membuat Bram sulit meninggalkan. Namun, ia harus sadar. Demi kita bersama, jangan menjadi seseorang keras kepala di saat semuanya tidak baik-baik saja. Belajar dari kesalahan, semua karena Acha yang masih menyangkut pautkan Devid di pendakian tadi. Mungkin takkan terjadi acara hujan-hujanan tidak jelas, tanpa sadar melupakan Devit yang tak tahu apa-apa di belakangnya.

Dengan pasrah Bram memilih pergi, membwa carrier-nya. Ia segera ditarik oleh Aldo menuju tenda lain. Memberikan kesempatan sendirian di dalam tenda untuk mengganti pakaian basahnya. Bram merenung sebelum memutuskan mengganti baju, menghirup udara dalam-dalam. Berharap Devit segera sadar dan takkan mengingat kejadian gila tadi. Mengapa ia juga sungguh bodoh? Bahkan benar-benar tolol!

"Dia anak kecil, dia gak tau dinginnya gunung! Dia belum ngerasain hujannya di atas puncak!" Bram mengacak rambutnya kesal, lalu memilih mengganti bajunya dengan cepat.

Di luar sana, pendaki yang termasuk rombongan Bram sudah masuk ke dalam tenda. Irsad, Wildan, Giri dan Acha ada di sana menemani Devit yang sudah sadar. Tatapannya sangat sayu dengan napas terputus-putus, Acha yang berada di dekatnya tak bisa menahan air mata. Didekapnya kembali Devit, diciumnya dalam puncak kepalanya. Rintihan meminta maaf tak mampu diucapkan secara lisan, hanya dalam hati dan berharap semua ketakutan hilang dari pikiran.

"Mba Acha, jangan banyak nangis, ya, takut drop juga. Pasti banyak pikiran," ucap Irsad menyadarkan.

Acha segera menghapus air matanya di pipi yang menggenang. "Iya, gua cuma kebawa suasana aja."

Irsad tersenyum maklum. "Ya udah, kita keluar, ya, nanti Atul sama Risa masuk."

Saat Irsad, Wildan dan Giri siap keluar Bram datang dengan jaket barunya. Melihat keadaan Devit yang sudah sadar, sudut bibirnya menciptakan sesungging senyuman. Tanpa menunggu lama, segera menghambur memberikam pelukan eratnya. Devit juga sudah dipakaikan baju lengkap tadi, tidak lupa Acha memasangkan kupluk di kepalanya agar tetap hangat. Dari pintu tenda, Atul dan Risa sudah datang dengan senyuman.

Kata Irsad, jangan biarkan Devit terus melamun mengingat kondisinya yang mungkin trauma dengan kejadian tadi. Usahakan tetap membuatnya terjaga, bisa pula mengajaknya bermain di dalam tenda seperti main tebak-tebakan? Mendengar bisikan Atul yang kembali menjelaskan penuturan dari Irsad, Acha pun mengangguk mengiyakan. Ia mengelus bahu Devit sayang, anaknya itu menoleh dengan tatapan sayu. Tanpa senyuman, sedikit ketakutan masih tersirat dalam wajah polosnya.

"Devit, udah baikan?" tanya Acha hati-hati.

Devit hanya mengangguk. Lalu Atul mengalihkan tatapan bocah itu. "Di sini 'kan dingin, kamu maunya ngapain?"

Mulut Devit sudah bergerak untuk berbicara, tetapi malah terkatup lagi. Tinggal Bram yang siap melempar tanya. Namun, terhenti saat Devit berkata, "Pengin pulang."

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang