"Menyesal tak ada sama sekali perubahan dalam masalah rasa. Karena tak saling mencinta, terpaksa tetap berjuang sendiri walaupun banyak jerit ingin menyerah karena bosan."
Menghindari Richard dengan segala cara tak membuat anak dan ibu itu berhasil keluar, bebas bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya. Memang, pagi harinya Acha berhasil mengantarkan Devit ke sekolahnya tanpa hambatan. Namun, saat jam pulang tiba, panggilan telepon dari Reina menjelaskan, bahwa anaknya itu sudah duduk terpaksa di samping kemudi mobil Reina.
Acha benar-benar shock, pasti di balik sikap langka Reina menjemput Devit sampai apartemen ada niat lain. Mungkin saja bersekongkol dengan Richard? Tanpa menunggu lama, Acha pulang cepat dari sekolah, padahal ada beberapa kelas yang belum ia beri materi tambahan di hari senin ini. Sesampainya di parkiran, tatapan Acha langsung tertuju. Menatap tubuh jangkung Richard, di sebelahnya Reina berdiri tak sabar.
Sebelum Acha mempertanyakan Devit, Reina segera berkata, "Devit, aman. Udah gua titipin ke seseorang!"
"Titip? Dia punya rumah, juga ibu yang masih hidup! Ngapain lo tiitipin ke orang lain!" sentak Acha, mulai emosi karena dengan kehadiran Richard di sana semakin memperkeruh suasana.
Reina melirik Richard. "Sesuai kemauan dia!" Tunjuknya.
"Saya, hanya meminta waktu beberapa menit, Acha. Tidak sampai berhar-"
"GUA GAK PEDULI!" potong Acha, "di mana anak gua!"
Tanpa berpikir ulang, Richard menyeret Acha ke dalam mobilnya. Dibantu oleh Reina yang sigap mengamankan. Tak mampu melawan dua orang sekaligus, Acha hanya mampu pasrah. Pikirannya terus mempertanyakan Devit di mana sebenarnya. Padahal, tanpa ia ketahui, Devit berada di apartemen. Dalam keadaan baik-baik saja.
Mengingat Reina yang menjemputnya pulang, memberikan pesan bahwa tantenya itu akan bertemu dengan ibunya. Kemungkinan jam pulang menjadi sedikit telat, Devit mengangguk paham. Sama sekali tidak curiga, bahwa Reina bersekongkol dengan Richard. Orang yang dihindari oleh ibunya. Devit juga tidak berniat mencari tahu ke bawah, melihat kebenaran Reina dan Richard berdiri menunggu kedatangan Acha.
Sampai di sebuah rumah yang dihiasi tanaman tertata rapi, Richard menghentikan laju mobilnya. Acha masih tersadar, tetapi kedua tangannya diborgol oleh Reina. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah yang rapi, tercium aroma harum dari pewangi ruangan. Richard meminta Reina melepas borgol di tangan Acha.
"Devit ada di sini juga?" tanya Acha, berkaca-kaca.
Selesai melepas borgolnya, Reina mulai siaga menjaga pintu keluar. "Anak lo aman, gak usah dipikirin!" ketusnya.
Acha menoleh dengan tatapan tak suka. "Mau kalian apa, sih? Gua punya salah apa? Hutang? Gak, kan?!"
"Bukan itu," sela Richard. Langkah kakinya menuju salah satu lemari kaca, mengeluarkan sebuah berkas penting. "Tanda tangan sekarang juga!" titahnya
Tanda tangan? Untuk apa? Richard menyerahkan berkas yang membuat kening Acha semakin mengerut dalam. Tertera jelas, surat wasiat harta kekayaan yang tertinggal, hanya untuk anak kandung seorang yaitu Devid Prabu Androno. Sisanya, Richard sudah menanda tangani haknya.
"Kenapa harus gua?"
Reina yang sudah tau inti niat Richard mendatangi Acha untuk soal harta, berkata, "Tinggal tanda tangan aja, Cha, gak susah, kok!"
"Terus hartanya bakal jadi milik lo, gitu!" tuduh Acha, menunjuk Richard.
Richard menghirup udara panjang, lalu membela diri, "Iyalah, saya jauh-jauh datang ke sini hanya untuk itu. Bukan untuk menyerahkan harta ayah tiri saya ke kamu, mengerti?"
Tak habis pikir, Acha mulai geram. "Jadi, kalian nganggep Devid udah mati, terus mutusin minta tanda tangan ke gua? Buta, ya?!" Acha berdiri, berhadapan langsung dengan Richard yang lebih tinggi darinya. "Lo liat Devit? Dia siapa? Lu kira patung, ha!"
"Saya hanya butuh tanda tangan kamu!" Richard menyentak berkas ke hadapan Acha. "Jangan membuang waktu!"
"HAHAHA!" Acha tertawa, menertawakan Richard yang dulu ia kenal sebagai manusia yang wajib ia intai dan bodohnya ia kejar karena cinta. "Lo sama sekali gak mikir? Devid punya anak, dia perlu biaya hidup! Mustahil, gua bakal ada buat dia selamanya, Ric, gua bakal dibawa Tuhan, gak bakal abadi di dunia.
Gua gak bisa menjamin selalu ada buat Devit. Satu-satunya milik gua. Kalo kalian tetep menganggap dan memang ujungnya Devid udah meninggal!"
Senyap. Richard dan Reina terdiam, bingung harus membalas apa. Sampai Acha pun melanjutkan, "Gak mungkin banget, kan! Mau emangnya lo, Rei! Ngebiayain anak orang? Pakek uang lo? Gak, kan! Apalagi lo!" Acha menatap tajam Richard. "Nyatanya, lo sendiri yang punya niat ngabisin titipan dari kakeknya! Padahal hak lo udah diambil, RICHARD!!"
Acha tersungkur ke lantai, menangis histeris. "Kalian mikirnya cuma kebahagiaan buat diri sendiri? Tanpa berpikir ulang! Siapa yang lebih butuh!"
Tak ada yang berniat untuk membalas dan Acha memilih bangkit, siap menyingkirkan Reina untuk memberikan jalan keluar. "Gua harap, Devid masih hidup. Biar kalian bisa nikmatin harta yang diimpikan, terkhusus lo Ric."
Reina terpaksa menyingkir, membiarkan Acha keluar. Karena Richard sama sekali tidak melarang. Baru saja beberapa langkah menjauh dari daun pintu, Acha tersentak mendapati Bram dengan tergesa-gesa menghampiri. Menyentuh kedua bahunya, mempertanyakan keadaan Acha yang sedang tidak baik-baik saja.
"Gua anter pulang!"
Acha tidak menolak, ia juga bingung harus pulang dengan apa. Jadi, memutuskan mengikuti langkah Bram memasuki mobilnya. Pergi dengan cepat meninggalkan rumah yang sama sekali tidak pernah Acha singgahi. Dalam perjalanan pulang, Bram banyak bersyukur bisa menemukan Acha dengan cepat. Tadi, salah satu teman tongkrongannya memberitahukan keadaan Acha yang tidak baik-baik saja.
Walaupun sangat terlambat menyelamatkan, tetapi Bram berhasil membawa Acha pergi dari tempat asing itu. "Lo udah makan?" tanya Bram, jam di pergelangan tangannya menunjuk pukul tujuh malam.
Acha tetap diam, Bram harus memaklumi. Wanita di sampingnya itu enggan diganggu. Jadi, selama perjalanan pulang, Bram memilih diam. Sampai mobilnya berhenti di parkiran, mengartikan Acha harus keluar segera. Namun, ia tetap diam di tempat. Menatap kosong keluar, Bram menoleh, mungkin Acha ingin berdiam diri untuk beberapa menit?
"Makasih, Bram," lirih Acha.
Bram mengangguk, menelusuri wajah suram Acha. "Lo gak papa 'kan, Cha?"
Acha menelan ludah kasar, ia baru tersadar tas berisi dompet dan ponsel tertinggal di dalam mobilnya tadi. "Gua mau langsung masuk, sorry gak ngundang lo masuk juga."
"Gak papa, lain kali aja," balas Bram tenang.
Sebelum Acha mendorong pintu mobil, ia menoleh mendapati Bram menatapnya lekat. "Makasih," ulang Acha.
Bram hanya mampu Mengangguk. Langkah Acha terus menjauh, menyisakan harum parfumnya di dalam mobil. Bram menyandarkan tubuhnya, menghirup udara dalam-dalam.
"Kalo gaada gua, siapa yang mau bantuin dia, ya?" gumamnya, lalu meninju kemudi dengan kesal. "Sial! Kenapa nasib gua gini? Nunggu yang gak pasti? Pad-"
Drit! Drit!
Getaran ponsel Bram memotong ucapannya, nama Anya yang tak lelah selalu menghubungi tertera jelas.
"Lo juga, ngapain terus berjuang deketin gua? Udah tau sukanya sama Acha, Nya." Bram geleng-geleng kepala. "Andai ... saling cinta, kapan, ya?"
Panggilan telepon Anya yang keenam kali tak ada niatan sama sekali untuk Bram jawab. Ia kembali melajukan mobilnya, memaksa untuk melupakan luka di dada. Juga, menguatkan diri bahwa ia mampu setia sampai satu tahun ke depan.
Note : Ciee nunggu Devid nongol, kapan yaa
![](https://img.wattpad.com/cover/225183986-288-k554922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...