154. Ingat, Anak SMP!

29 11 1
                                    

"Jangan terlalu serius menghadapi masalah, dibawa santai nanti juga bakal kelar."

Setiap hari selalu dipikirkan, apakah masuk akal Acha hanya mendapat mimpi bertemu Devid dapat dihitung dengan jari? Bahkan ia begitu saja bisa melupakan mimpi lainnya, terkecuali mimpi malam terakhir itu. Di mana terasa Devid ada di hadapan Acha, pulang setelah sepuluh tahun hilang tanpa meninggalkan jejak.

Saat fisik dan hatinya melemah ingin menyerah, diiringi rintik hujan sampai pagi. Akhirnya mimpi bertemu dengan Devid terjadi lagi. Benar-benar nyata, meyakinkan Acha bahwa ia akan datang pada waktunya. Tanpa menyebutkan kapan waktu itu? Kapan hari kepulangannya?

Sebuah firasat lain mengatakan, apakah itu menjadi pertanda Devid akan pulang hanya dengan kabar tak diharapkan? Gugur di negeri orang? Melenyapkan harapan Devit anaknya sendiri bisa bertemu dengan seseorang yang dipanggilnya papa? Jangan, semoga saja mimpi tadi malam adalah pertanda kebahagiaan.

"Jangan melamun mulu, Cha, tadi malam kamu gak makan. Masa, sekarang gak makan lagi?"

Dinda sangat khawatir melihat keadaan Acha, belum lagi mengingat ekspresi Devit yang datang sebelum pergi ke sekolah tadi.

"Devit, titip mama, ya, Oma. Kasian, akhir-akhir ini kondisinya makin memburuk," terang Devit.

"Udah, kamu fokus belajar aja. Cucu oma, harus pintar, jadi kebanggaan, ok?"

Disemangati seperti itu tak membuat Devit memberikan senyum lebar. Ia berjalan keluar dengan malas, inginnya hanya menemani Acha saja sampai ibunya itu kembali tersenyum. Memasak nasi goreng bersama, tanpa obrolan yang membahas tentang kepergian sang papa yang entah di mana tinggalnya.

Mengendarai motor dengan kecepatan sedang, sampai harus menghadapi beberapa siswi kegatelan ingin menjadi pacarnya. Dulu, Devid hampir merasakan hal yang sama. Mencoba memendam luka yang ia bawa dari rumah, lalu mulai tebar pesona menutupi rasa sedihnya.

Apakah Devit akan seperti papanya? Dia bukan menutupi luka karena penyakit yang diderita. Namun, luka keadaan keluarganya. Ibu yang sedih, ayah yang tak kunjung datang dengan status orang-orang menyimpulkan telah gugur dalam kecelakaan pesawat terbang. Hilang tak ditemukan.

"Ada Devit, tuh! Dia kelas tujuh A, loh! Udah ganteng pinter lagi, ya!" terang seorang gadis berkacamata tak jauh dari jangkauan Devit.

Di sebelahnya gadis berkepang kuda membalas, "Dia juga atlet renang! Besok 'kan mau lomba!"

"Wih! Kita harus ikut, buat nyemangatin!" sorak gadis lainnya.

Devit segera melepas helmnya, mulai merubah ekspresi wajah sedihnya jadi ceria. Lalu melangkahkan kaki, ranselnya tersampir di pundak kirinya, sedangkan tangan kanannya mulai merapikan rambut yang tak rapi.

"Masih SMP aja udah ganteng, gimana kalo udah SMA?"

Terdengar pujian gadis di belakangnya, diresponnya dengan senyum kecil. Sampai langkah Devit harus terhenti karena jalannya dihalangi, oleh tiga gadis yang sedang ramai diperbincangkan akan menjadi pacar Devit salah satunya.

"Hai, gebetan calon pacar!" seru Nesha genit.

Sila dan Viola yang menjadi pengikut Nesha melambaikan tangannnya kompak.

"Ke gua, Nes?" tanya Devit pura-pura tak tahu.

Beberapa siswi memilih berhenti juga, mengintai apa yang ingin Nesha si cewek sok populer yang sudah dikenal banyak orang. Ia juga pintar dalam bidang olahraga, khususnya voli. Termasuk junior yang selalu ingin berteman dengan senior, agar semakin dikenal. Kecuali oleh orang-orang pintar yang tidak mempedulikan tingkah konyol Nesha.

Dari penampilan yang terlalu membahana, mempermalukan kelas 7C semakin dipandang buruk oleh orang-orang karena keberadaannya. Lipstik merona merah menjadi hal biasa, ia memanfaatkan kesempatan saat namanya diperbincangkan banyak orang karena skandal, malah semakin mendekati senior yang memiliki kelakuan sama sepertinya.

"Ya iyalah, masa nyapa ke tong sampah!" balas Nesha, tangannya dengan lancang menarik lengan Devit. "Yuk, keburu bel bunyi!"

Dua pengikutnya segera memisahkan diri, membiarkan Nesha berjalan berdua dengan Devit. Terpaksa Devit menurut saja, toh kelas Nesha juga bersebelahan dengan kelasnya. Selagi tidak mengganggu waktu belajar dan me time-nya Devit takkan menolak. Lihatlah, semua penghuni SMP Pancasila juga sudah menganggap biasa kelakuan Nesha.

Sesampainya di depan pintu kelas, Nesha menahan cekalan tangannya di lengan Devit, lalu berkata, "Detik ini kita resmi jadian, kan?"

Devit menoleh. "Gua gak pernah bilang."

"Kok, gitu, sih!" pekik Nesha, seraya melepas cekalan tangannya dengan kasar.

"Jadian? Biar makin populer karena cuma status pacaran?" Devit tersenyum miring. "Inget, anak SMP!"

Ah, ternyata Devit tidak mengikuti alur yang diinginkan Nesha. Menjadi cowok incaran cewek itu tak mudah dan Devit tak peduli. Dia sekolah untuk belajar, bukan mencari pacar! Ingat, umurnya memang  sangat muda di antara penghuni SMP lainnya. Namun, jangan ragukan isi otaknya, berpikir sebelum melangkah jauh. Mengingat kembali masalah yang sedang dihadapi, jangan menjadikan sepi adalah jalan keluar menghabisi harapan kesuksesan.

Sepuluh tahun. Kebanyakan tak lepas dari mainan anak-anak yang dimiliki. Tidak dengan Devit. Ia harus berjuang mendapatkan posisi juara. Karena besok hari yang dinanti oleh guru olahraganya. Mempercayai bahwa Devit bisa mengharumkan nama SMP juga mengibarkan namanya sendiri. Mungkin akan menjadi sejarah tertulis juga, anak yang memiliki bakat tak jauh seperti ayahnya.

Orang lain tak tahu ayah Devit di mana kenyataannya. Namun, keluarganya sendiri akan bangga Devid kecil hadir kembali memberikan kabar bahagia.

"Heh, orang gila!"

Devit tersentak, menatap gadis berkerudung yang dikenalnya duduk tepat di belakang bangkunya.

"Kok, manggil gua orang gila?"

"Yee ... senyum-senyum sendiri! Kek orgil, tauk!" Gadis itu melempar selembar kertas. "Bu Sita, minta, buatin puisi tema kasih sayang sekarang juga!"

Devit mengerutkan keningnya dalam. "Gada bahasa sekarang, lu aja yang buat!'

"OI!" Sebelum Devit menyerahkan kembali kertasnya, gadis bernama Gita itu berkata, "Gua mau lomba baca puisi! Puisinya karangan elo, itu kata bu Sita. Karena dia protes kalo puisi karangan gua jelak!"

"Oh," balas Devit, lalu membaca pesan dari Bu Sita yang ada di selembar kertas itu dan meminta Devit menuliskan puisinya di sana. Nanti Gita menyalinnya.

Gita bersiap melangkahkan kaki kembali duduk di bangkunya. Namun, ucapan Devit menghentikan niatnya. "Enaknya, lo yang ngarang nanti gua rangkai."

"Kata bu Si—"

"Gua gak peduli," potong Devit, tatapannya tajam membalas bola mata kecokelatan milik Gita.

"Lah, kok maksa, sih!" sungut Gita, saat ia siap kembali protes bel masuk berbunyi nyaring. Menandakan ia harus duduk manis di bangkunya.

Melihat wajah kesal Gita, Devit malah tersenyum bahagia. Ada apa dengan bocah itu? Sepertinya ia mulai bosan juga berada di kelas dengan niat belajar sangar serius. Setidaknya ada hiburan yang dapat membuat mood buruknya menjadi baik. Apakah Gita akan menjadi sasaran? Gadis yang sama sekali tidak peduli akan kehidupan Devit. Termasuk beberapa gosip yang beredar. Karena Gita adalah gadis haus akan ilmu, sangat tidak penting dalam kehidupannya membuang waktu apalagi dekat dengan lawan jenis!

"Gak peduli banget mau dia ganteng ato jadi rebutan cewek! Emang dia bakal ngasih contekan waktu ulangan?" gumam Gita seraya membuka buku pelajaran yang akan dimulai pagi ini.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang