22. Hari Ini

333 46 4
                                    

"Kebahagiaan, tak selalu hadir dalam keluarga yang dipandang semua orang sempurna."

Pesanan telah terhidang, kepulan asap ditambah aroma bubur ayam yang menyengat membuat Devid tak sabar ingin menghabisi buburnya sekarang. Acha mengaduknya terlebih dahulu, sedangkan Devid telah menyuapkan bubur panasnya itu.

Kelabakan Devid menelannya karena panas masih menjalari bubur ayam. Acha hanya bisa menertawakannya, ditonton beberapa ibu-ibu yang sedang mengasuh anaknya juga.

"Makanya santai aja kali," ucap Acha sambil menyodorkan segelas air teh hangat.

Devid dengan cepat meminumnya, sebelum memuntahkan bubur di dalam mulut.

"Gua laper ... lagian bubur mang Udin kagak kalah ama yang deket alun-alun!" timpal Devid.

"Harus, dong! Udin bubur ...," ujar Acha.

"Ada apa ini teh ngomongin saya?" tanya Mang Udin dengan setelan kaos oblong bercorak kotak-kotak, tak lupa handuk kecil tersampir di pundak.

Acha mendongak. "Enak, Mang ...," jawab Acha sambil mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.

"Eta mah harus atuh, lagian sudah keturunan si mbah," jelas Mang Udin sesekali mengelap gerobak buburnya.

Tangan Devid menggapai-gapai. "Pokoknya sampe keturun entah ke berapa, harus stay di komplek ini, ya, Mang!"

"Hahaha, Insya Allah. Nanti resepnya saya kasih ke anak cucu," balas Mang Udin lalu melanjutkan membungkus bubur pesanan lain.

Mereka berdua melahap bubur sampai tandas, tak tersisa sebiji apa pun dari bubur dan menghasilkan perut penuh kekenyangan.

Acha menyenggol bahu Devid, memerintah untuk membayarnya. Devid mendelik, menolak dengan pura-pura tidak membawa uang di saku celananya.

"Gua, kan, nginep! Masa bawa uang," kilah Devid.

Acha mendengkus. "Dasar! Kagak ngomong dari tadi lu!" sungut Acha lalu menghampiri Mang Udin.

Tak ada lagi orang yang di dekat Mang Udin untuk mengambil pesanan. Acha malu-malu menghampiri.

"Mang, si Devid kucrut, kan, kagak bawa uang, nah Acha juga kagak. Jadi, mau bawa uang dulu bentaran, ya!" bisik Acha.

Mang Udin menatap manik Acha. "Jangan lama-lama, mau pulang," balas Mang Udin.

"Siap! Bentar, ya." Acha berbalik menatap Devid yang masih mengorek giginya dengan sebuah tusuk gigi.

"Huh! Gua lagi yang bayar!" seru Acha berkacak pinggang.

"Halah ... cuma goceng!"

Acha berlari menuju rumahnya dengan muka kesal. Devid terkikik, tiba-tiba ponselnya bergetar di saku celananya. Ternyata Dinda yang menelpon.

"Hallo, Ma?"

"Sekarang waktunya, kamu ke mana, sih?!"

Devid mengerutkan keningnya lalu menepuk jidat kasar. "Aku pulang!" Ia pun berlari menuju rumah, begitupula Acha keluar dari rumah menuju Mang Udin.

Dilihat tempat duduk terakhirnya sudah kosong. Acha menyimpulkan Devid kabur darinya, setelah memberikan uang, ia pun kembali ke rumah. Tangannya menonjok angin di depan seakan ada Devid di sana.

"Kabur lagi, huh!" sungut Acha sambil memasuki rumah.

Di rumah Devid. Dinda masih dengan celemek bernoda krim bolu hiasnya. Sanggulnya tertatapi rapi menandakan selesai mandi.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang