111. Asal Lo Tahu

96 20 7
                                    

"Lo cuma perlu tahu, gua gak maksa balesan rasa suka yang mustahil lo punya."

Bram

Penantian siap menjadi orang tua sudah di depan mata. Kabar hasil test pack membenarkan. Tangis haru bahagia menyertai keduanya, mereka tidak memercayai secepat itu Tuhan berikan. Setelah satu bulan berlalu semenjak awal meminta restu, akhir-akhir ini pula Acha dan Devid selalu menyempatkan diri menemui keluarganya. Sempat pula ke Garut, memberikan kabar kepada Yogi dan Nia, sedangkan Decha yang dulu masih bayi sekarang sudah berjalan dengan lancar. Memanggil ayah dan ibunya, tapi sayangnya tidak mengenali Devid dan Acha.

Awal Devid datang, bukan lagi keterkejutan Yogi histeris melihat Devid menggandeng Acha. Ia kira itu adalah arwah Devid, ternyata setelah dijelaskan bahwa nyatanya Devid mati suri. Mengetahui kabar bahagia tentang kehamilan Acha yang baru satu minggu membuat suasana rumah mungil milik Yogi terasa damai. Bukan lagi celotehan bayi, sekarang Decha bisa menceritakan tentang siang tadi main bersama temannya. Devid spontan menarik bocah itu, rambutnya terlihat sedikit keriting, kulitnya hitam manis, begitu pula senyum kecilnya.

Decha, mengingatkan nama mereka berdua. Setelah menghabiskan dua malam di Garut, mereka pula menyempatkan pergi ke Ciamis, mengingat dahulu pendakian yang sangat tidak pernah terbayangkan. Acha memeluk erat tangan Devid, ia benar-benar bahagia sekarang. Apalagi Devid yang mulai menghabiskan waktu untuknya, beberapa job manggung diberikan kepada Devita, sedangkan pekerjaannya di perusahaan Hamdan masih belum diterima.

Kembali ke Jakarta, Acha masih bisa berkeliaran ke mana-mana, mengingat perutnya pula belum menandakan akan membesar. Siang itu, Acha mampir ke kafe yang dulu biasa dilalui bersama Bram. Tidak ada janji bertemu di sana. Namun, Tuhan yang menghendaki, Bram menghampiri Acha yang sedang memegang majalah ibu hamil. Awalnya Bram ragu mendekat, tetapi setelah bertemu dengan Acha yang sulit karena pekerjaannya selalu datang tanpa henti.

Jadi, Bram meluangkan wkrtu duduk berhadapan menatap keadaan Acha yang semakin terlihat cantik saja. Rambut sebahunya diikat ke belakang, tidak lupa hiasan bunga berwarna putih menyempurnakan. Tubuh mungilnya masih sama, tetapi ada beberapa perubahan terlihat lebih berisi. Kedatangan Bram membuat Acha menutup majalahnya, memberikan senyum manis tidak percaya bertemu teman lama.

"Ya ampun kebetulan banget, Bram, dari mana?" tanya Acha, seraya memasukkan majalahnya ke dalam tas tangan.

Bram membalas senyum Acha dengan senang. "Tadi habis kerja, mau ngopi dulu, eh ... ketemu pengantin yang nggak ngundang gua!"

Acha tersenyum miring mendengar sindiran Bram, lalu tangannya menyelipkan beberapa rambut yang terlepas dari ikatannya. Seketika Bram merasakan rindu yang teramat dalam akan Acha, sekarang temannya itu tidak lagi mengikuti organisasi MAPALA. Jadi, ia tidak memiliki alasan menjemput atau sekedar jalan-jalan. Sekaranglah, waktu yang tepat, Bram mengungkapkan rasa lamanya.

Rasa yang tertahan, enggan diucapkan mengingat Acha sudah sah menjadi istri Devid. Namun, ia pula tidak bisa menahan gejolak cinta. Ia rela dijauhi karena Acha tidak memercayai. Asalkan, rasa suka dan cintanya sudah diungkapkan. Perbincangan masih mengungkap masa lalu, masa di mana mereka berjuang membawa Devid ke kehidupan yang sebenarnya. Untuk mencairkan suasana Bram tertawa menanggapi lelucon, tentang Devid yang masih konyol, di mana sudah menjadi suami Acha.

"Gua mau bicara serius, Cha."

Tawa Acha tertahan, melihat ekspresi Bram kelewat serius. "Dari tadi kan kita lagi bicara, lo ada masalah?"

Pikiran Acha tertuju kepada Bram yang belum memberitahukan siapa gerangan wanita yang berhasil mencuri hati, si lekaki yang ada di depannya ini. Lama, Bram menahan ungkapan sesuatu yang lama ia pendam. Hingga tidak terasa pernikahan Acha dan Devid sudah satu tahun saja. Tanpa Bram ketahui juga, status Acha sekarang sebagai perempuan yang berbadan dua.

"Gua suka sama lo dari dulu."

Hari memang beranjak sore, tetapi pendengaran Acha merasa suasana di sana siang, di mana petir menghantam. Suka? Suka maksudnya apa coba? Pandangan ceria yang dari awal pertemuan Acha berikan sekarang berubah, ia murung dan entah harus menjawab apa.

"Gua tahu, lo udah nikah sama Devid, tapi ... gua capek mendem sendirian rasa ini, Cha," lirih Bram, terlihat gemetar tubuh Acha menyudutkan dirinya, menghindari pandangan Bram.

Suasana sore itu semakin tegang, ditambah tangan Bran dengan beraninya menggenggam jemari Acha yang gemetar. "Lo cuma perlu tahu, gua gak maksa balesan rasa suka yang mustahil lo punya."

Acha menatap bola mata Bram yang bersungguh-sungguh. "Makasih, lo udah bantu gua rebut Devid, makasih atas perjuangan yang lo lakuan buat gua. Tapi, gua gak bisa bales rasa yang lo ungkapin."

Anggukan lemah menjadi jawaban, lalu Acha berucap lagi, "Gua lagi hamil."

Seketika keterdiaman Bram yang mendengar ucapan Acha seolah menyadarkannya. Bahwa ia benar-benar tidak bisa memiliki Acha, seperti keinginan ibunya cepat menikahi gadis yang dicinta. Namun, semua sudah berakhir, Acha memberikan senyum singkat. Bram harus sadar, dirinya hanya penyelamat dan tidak diharuskan menyukai Acha, di mana dia sendiri yang menyatukan cinta Acha dan Devid.

Tidak ada yang melanggar rasa suka Bram terhenti, hingga ia berani berucap, "Gua tetap nunggu lo."

Nunggu? Seolah meminta kepada Tuhan agar Devid menghilang dan digantikan oleh Bram? Acha salah harus berbincang dengan penyelamat yang dianggapnya tidak akan meminta balasan, apalagi balasan yang mustahil Acha berikan.

"Tanpa sadar, lo nyumpahin gua berpisah dengan Devid, lo nyumpahin agar gua gak bahagia dan lo siap nunggu semuanya terjadi, gitu?!"

Bukan itu yang Bram maksud, Acha beranjak siap pergi, sambil memegang perutnya yang masih datar, seolah memberitahukan kepada Bram. Dia milik Devid dan sama sekali takkan pernah ada perpisahan lagi.

"Cara lo ngungkapin rasa, membuat gua berpikir lagi, Bram. Anggap, kita gak pernah saling mengenal, soal pertolongan yang lo berikan. Gua mohon, ikhlaskan, dengan begitu gua anggap lo terima kenyataan," putus Acha, seraya pergi dengan cepat keluar dari kafe.

"Acha! Bukan itu maksud gua," seru Bram, tetapi Acha telah pergi menghilang. "Gua akan tetap nunggu, membuka lebar tangan lemah ini, di saat lo merasa tersakiti, bukan berarti nyumpahin Devid hilang dari genggaman," lanjut Bram, sayang ... Acha tidak mendengar.

Bisa direnggut paksa atau mencelakakan Devid. Namun, itu bukan cara yang benar, asalkan Bram sudah mengungkapkan isi hatinya. Satu beban telah hilang, apakah ia mampu menggantikan Acha dengan perempuan lain? Siapa? Semua perempuan yang mendekatinya dengan halus ia tolak. Hatinya telah dicuri, oleh perempuan yang telah bersuami. Pula, telah hamil.

Bram tersenyum getir, mengapa tidak dari dulu? Sebelum Acha benar-benar bersama Devid? Jika, dulu ia mengungkapkan rasa sukanya. Dipastikan, Acha akan menganggap Devid sebagai sahabat saja, sedangkan cinta yang baru ia ungkapkan dipastikan akan diterima. Sayang, waktu tidak bisa diulang. Bram membenturkan beberapa kali keningnya ke meja, sampai seorang pelayan menanyakan keadaannya.

Di luar sana, Acha mencari taksi yang lama didapati. Ternyata masalah belum juga hilang dari hidupnya. Gemetar mengingat kembali ucapan Bram. Lelaki yang menolongnya terbukti menyukai Acha, itu adalah ketakutan yang pernah Acha pikirkan waktu di gunung Prau. Sekarang terbukti, bahwa Bram benar-benar menyukai.

Ya ampun, Bram, Cha, semuanya terasa rumit, kek hati huhu.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang