49. Ini Gua, Dev

286 35 18
                                    

"Gak segampang itu lo perlakuin gua, Dev. Ini gua, bukan cewek yang antre mau jadi pacar lo yang entah ke berapa."

Acha

Kue brownies lumer yang dipadukan dengan susu kental manis putih, tersaji di dalam kotak berwarna hitam teruntuk tetangga barunya. Bajunya sudah siap dan sangatlah rapi. Beberapa kali rambut panjang terjepit mungil di belakang, ia rapikan dan sisir agar terlihat elegan.

Devid langsung duduk di ruang makan, sepiring nasi goreng dilahapnya dengan cepat. Dinda menyadari anaknya menatap aneh, ia pun duduk di samping Devid yang hanya menggunakan kolor hitam, bertelanjang dada.

"Kamu ikut, ya! Kita kenalan sama tetangga baru," ujar Dinda, alisnya tertarik ke atas.

Devid menggeleng. "Mau latihan renang dulu, dua puluh menit, kok, nanti nyusul," jelasnya sambil menyuapkan sesendok nasi terakhirnya.

Dinda mendengkus. "Ya udah, mama sama Acha, deh!"

Di luar sana, tepatnya samping rumah Acha. Felix sudah bersiap dengan tas hitam kantornya, sedangkan Richard mulai memainkan laptop yang diberikan ayahnya. Tak banyak pembicaraan di antara anak dan ayah itu, karena sangat jarang bertemu membuat mereka sama-sama canggung.

"Ric, nanti ayah kasih tau kepulangannya, ya," pamit Felix sambi menggunakan jaket hitam kulitnya.

Richard menghentikan tangannya yang menari-nari di atas keyboard. "Iya," jawabnya singkat.

Suara mesin mobil sedan semakin menjauh, hingga tak tedengar lagi. Dirasa semua aman, Richard menutup pintunya tak lupa menguncinya, ia pun membawa laptop ke lantai atas. Siap melakukan perjalanan sebagai anak kota.

Matanya membaca sederet kata-kata umum, ia mulai mengingat semuanya. Karena otaknya yang bisa disebut encer, Richard tak susah payah bisa menghapalnya. Kecuali memperagakan semuanya. Ia bimbang, sampai-sampai berbicara dengan dirinya sendiri.

"Ohh, gu—gua lupa!" ucapnya tergagap lalu menggelengkan kepalanya terasa payah.

Drett! Drett!!

Richard mengambil ponsel, seseorang menelponnya. Ternyata nama Reina yang tertera, bibirnya tertarik ke atas. Secepat mungkin menggeser panggilan berwarna hijau untuk menjawab.

"Hai! Cepet banget ngangkatnya, udah dikasih nama, ya, nomor gua?" berondong Reina.

Richard sesekali mengartikan kalimat yang diutarakan, tanpa mencari, tetapi mengingatnya.
"Hahaha, iya, kamu tadi nyuruh saya cepat simpan," kilah Richard menahan senyuman.

Reina terkikik. "Ngomongnya yang umum, dong ... berasa kayak ngomong ama guru tau!"

Richard terbahak, ia mulai mengerti. "Ok, gua usahain," balasnya.

Reina tak kalah tertawa di sana, sampai terguling-guling. Hingga Richard tak menyadari teriakan di lantai bawah dan ketukan pintu rumahnya, ia pun memutus sambungan telepon dengan cepat. Langkahnya menuruni anak tangga, langsung saja memutar kunci pintu.

Pintu terbuka lebar, mendapati dua wanita dengan berbeda usia. Richard menatap keduanya, tetapi tak sampai beberapa detik—napasnya tercekat. Dinda tersenyum lebar, penemuannya sangat mengejutkan, di depannya lebih menakjubkan dari malam kemarin yang baru menadapati bule, pikirnya.

"Hai ... salam kenal, ya! Kami tetangga dekat," tutur Dinda sambil menunjuk rumah Acha.

Richard mengangguk membalas senyuman. "Saya Richard, senang bertetangga dengan Anda," ucapnya.

Namun, Acha masih diam, tangannya menekan-nekan kukunya kentara gugup. Dinda melirik Acha, lalu menyenggolnya.

"Kalian, udah pada kenal?" tebak Dinda.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang