153. Pertemuan Terakhir

31 8 0
                                    

"Satu per satu mungkin mereka akan meninggalkan. Menyesali sikap yang terlalu dibuat-buat, lalu memulai dengan cerita asmara penuh drama."

Entah untuk keberapa kalinya akhirnya Acha berhasil keluar dari sebuah sangkar. Diselamatkan oleh Bram lagi yang sekarang keduanya sudah hilang dari pandangan Haris. Menjauhi tempat yang tak diharapkan, sampai Bram menepikan mobilnya tepat di sebuah kafe yang lumayan ramai pengunjung. Memberikan waktu untuk Acha berpikir, memilih berduaan dengan Bram atau pulang.

Bram sendiri memilih bungkam. Ia sudah mengenal Acha, wanita itu paling tidak suka diganggu saat merenung dalam. Jika tatapannya memenuhi pandangan mata Bram, barulah mengartikan Acha siap bercerita atau menjawab pertanyaan dari Bram. Tanpa bertanya terlebih dahulu, Bram segera memesankan kopi hitam untuk Acha, sedangkan dirinya kopi kapucino.

Jalanan di luar sana terlihat ramai, beberapa pekerja yang kesiangan segera mengeluarkan kendaraannya melaju kencang. Ada juga yang memilih kafe menjadi tempat meeting, tak jauh dari tujuan para pengunjung di sana. Ada beberapa yang sudah merencanakan waktu untuk berkencan, padahal dari kantor akan membahas masalah serius yang sedang dihadapi.

"Selain guide, lo jadi penguntit juga," sindir Acha.

Bram mengulum senyum. "Sorry, tadi gua ada niat mau anterin lo ke sekolah."

Acha mengalihkan pandangannya, menatap pancaran bola mata hitam Bram. "Lo serius suka sama gua?"

Tentu saja! Mengapa Acha masih ragu akan rasa yang selama ini Bram jaga? Namun, apa yang Acha tanyakan tak dengan cepat Bram jawab. Rasanya mulut Bram kaku, hati kecilnya juga melarang agar ia menjawab bahwa rasa suka untuk Acha masih ada. Mengapa semuanya terasa meragukan? Bram memalingkan tatapannya, menatap kosong beberapa kendaraan yang lalu lalang.

"Gua bersyukur, kalo lo menyerah detik ini juga," ucap Acha sontak Bram menatapnya dengan mimik menahan emosi.

"Gua gak bakal nyerah!" tegas Bram.

Acha tersenyum miring. "Tapi, lo gak yakin rasa suka yang mungkin sementara itu masih ada, kan? Sepuluh tahun, Bram! Lo gak bosen?" Tatapan mata Acha mulai buram, berkaca-kaca siap menumpahkan air mata.

Bram tak mampu menjawab, tidak lama pesanan keduanya datang. Bram segera menegak kopinya, mencoba menghilangkan rasa gugup tanpa alasan. Mengapa ia mulai meragukan perasaannya? Lalu apa arti selalu ada untuk Acha selama ini? Jangan bilang dia memang mulai bosan? Menanti tanpa kepastian?

"Gua juga bosen nunggu, Devid! Dan gua yakin, lo udah bosen dari dulu, tapi dengan bodohnya sok berjuang! Ya 'kan, Bram?"

Tidak ada jawaban. Bram bingung harus menjawab apa. Ponselnya yang tersimpan di atas meja bergetar menampilkan nama Anya. Acha melihat jelas dan ia menunggu apa yang akan Bram lakukan.

"Dia gak penting bagi gua," lirih Bram, siap menolak panggilan dari Anya.

"Gua juga gak penting buat lo, Bram." Acha menatap Bram serius. "Jangan nunggu satu tahun untuk berjuang, lo bakal kecewa akhirnya!"

"Kata siap—"

Drit! Drit!

Anya kembali menelpon, Acha pun berkata, "Dia peduli sama lo, jangan sia-siain, Bram. Lo emang belum ngerasain nyesel kayak gua, makanya jangan sampe."

Telapak tangan Bram menutup layar ponselnya, lalu diremasnya kesal. "Jadi, lo cuma mainin perasaan gua doang?"

"Gua? Gua gak pernah minta lo selalu ada!" Acha menjeda. "Lo, gak gua harapin selalu jadi orang paling berharga!"

"TERUS LO ANGGAP GUA APA SELAMA INI, HA!"

Beberapa pengunjung menatap penuh tanya ke arah meja keduanya, sontak Acha merasakan dadanya sesak mendengar suara keras Bram yang tak biasa. Apakah dia lelaki yang selalu bersikap lembut kepadanya? Mengapa sekarang sangat kasar? Bram yang sadar akan sentakan tak tahu tempat itu, langsung menutup wajah dengan kedua tangannya.

Bram memaki apa yang barusan dilakukan, lihatlah pasti tak lama Acha akan menghilang dari pandangannya! Bahkan parahnya lagi, pasti enggan bertemu lagi dengan Bram!

"Ch—"

"Bram," potong Acha, "lo emang gak seharusnya ada buat gua. Sorry, kita gak bakal ketemu lagi, ok?"

Bak petir di siang bolong. Bram menatap diam kepergian Acha yang menahan malu karena terus diperhatikan oleh pengunjung di sana. Takkan ada temu lagi? Sebelum satu tahun ke depan dilalui untuk kembali berjuang? Ah, sialan! Mengapa harus berbuat bodoh seperti tadi! Mengapa Bram tak mampu menahan emosi dan kekecewaan yang lama ia pendam?

Mengartikan, Acha sudah membangunkan singa yang tertidur pulas. Memaksa Bram yang setia menghadapi kehidupan cintanya dengan sabar, memenadam luka bahwa Acha tak pernah menganggapnya ada dan hanya sebatas teman saja. Sekarang sudah terjadi, tak ada lagi temu untuk kesekian kalinya. Hebatnya lagi, alam menuntun kepergian Acha yang bingug harus ke mana.

Jarum jam tangan menunjuk pukul sembilan pagi, tanpa memberikan waktu hujan lebat begitu saja mengguyur jalanan yang tadi penuh kendaraan. Acha tak sempat mencari tempat untuk berteduh. Tadi ia berlari cepat menjauhi kafe untuk menghindari Bram dan sekarang ia harus berjaan kaki bersama tetesan hujan yang tak ada niat untuk berhenti.

Air matanya mulai menyatu dengan air hujan. Acha bebas berteriak, mengeluarkan rasa sesak akan beban kehidupan yang dilaluinya tanpa seseorang. Seseorang yang berjanji akan kembali, mengumandangkan azan di samping telinga bayi mereka berdua. Namun, ia berdusta! Mana? Devid hilang entah ke mana! Seketika Acha mengingat mimpi malam itu.

"Lo masih hidup, kan? Ngapain sembunyi? Gua capek!! Please .... balik, Dev ...."

Lutut Acha tak mampu menahan berat badannya, ia tersungkur jatuh. Kedua tangannya mengepal erat, meninju trotoar penuh genangan. Sebuah tangan menepuk pundaknya dari belakang, isak tangis Acha tertahan, ia menoleh mendapati seorang wanita yang berlindung dari guyuran hujan dengan payung putihnya.

"A—acha?" gagap wanita itu.

Tubuh Acha bergetar hebat, kembali terisak. "Ma ...."

"Kamu kenapa, Nak?" Dinda segera menarik lembut bahu kanan Acha. "Kamu bisa sakit hujan-hujanan kayak gini, ayo kita pulang!"

Acha hanya bisa pasrah, Dinda menuntunnya masuk ke dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan. Dinda mengira wanita bodoh yang sedang depresi hujan-hujanan, ternyata dia adalah menantunya sendiri. Makian yang sudah ia siapkan untuk menceramahi dibungkam, jangan tanyakan apa yang Acha lakukan. Mungkin mengingat masa lalu penuh liku?

Sesampainya di kediaman ibu mertua, Acha segera mengurung diri di dalam kamar Devid. Setelah sebelumnya ia membersihkan badan, memakai hoodie milik Devid dan celana selutut milik Dinda. Kamar yang ditempati sekarang sama sekali tak ada perubahan. Walaupun bagi Acha kamar itu tempat baru. Karena kamar yang selalu ia datangi berada di Bandung. Semua kenangan di sana dan tak mungkin ia bawa ke Jakarta.

"Biar mama yang ngasih tahu Devit, kamu di sini," ucap Dinda seraya mencari nomor cucunya itu.

Acha menghirup udara dalam, lalu mulai memejamkan kedua matanya dan terdengar pintu kamar ditutup pelan oleh Dinda.

"Dev ...," gumam Acha, disambut guntur menggelegar di luar sana.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang