170. Panggilan Sayang

20 3 1
                                    

"Penantian lama, ternyata menabung banyak kisah bahagia. Ini kah skenario Tuhan yang sungguh tak disangka?"

Seperti hari yang lalu, Devit akhirnya menyelesaikan tugasnya mengantar Gita si Putri Judes. Kembali terulang lagi, bahwa Ginan mendapat halangan yang tak bisa ditinggalkan malam itu, memaksa Devit berkenalan langsung dengan ibu Gita, pandangan damai dengan senyum lebar menjadi akhir pertemuan di malam itu.

Sesampainya di apartemen, pandangan Devit langsung disuguhkan pemandangan langka dan baru ia lihat sekarang. Kedua orang tuanya sibuk menatap layar televisi, berserakan bungkusan snack makanan ringan di atas meja. Bak kembali remaja, sampai Acha dan Devid menyadari seseorang baru datang!

"Ehh, udah sampe, Dev!" seru Acha. "Sini, kita lagi nonton tv," ajaknya.

Devit menggeleng tegas. "Gak, ah! Buat kalian aja waktu dan tempat dipersilakan," kekehnya, lalu masuk ke dalam kamar.

"Dikira mau pidato, apa!" balas Devid dan kembali fokus dengan film yang sedang mereka tonton.

Acha menoleh. "Dia, tuh, dewasa sebelum umurnya! Ngertiin banget perasaan kita, Dev ...."

Devid setuju. "Kayaknya dia banyak baca buku, banyak pula ilmu yang dia praktikan!"

"Yaps, beruntung banget gua jadi mamanya."

"Mama muda, sih, yang bener mah!"

Acha mendengkus. "Gua koreksi, ya, mama cantik harusnya, tuh!"

"Cantik dari mana, sih, Cha? Lu itu tipe bocil SMP yang beloon itu loh!"

"Dev, jangan mulai, deh," ancam Acha.

Devid memilih berdiri. "Mulai apa, Changcuts? Emang gitu faktanya, coba tanya sama Devit! Dijamin gak, bentar!"

Tanpa Acha prediksi, secepat kilat Devid memiringkan badannya dan meledaklah bom hirosima dari dalam raga seorang Devid Kurcut.

BRUT!!

"DEVID ...!!"

"Anjay, mantap, bos ...." Tanpa menunggu lama Devid berlari ke dalam kamar, sedangkan Acha menutup rapat lubang hidungnya.

"Sepuluh taun ngilang, tetep aja jailnya masih nempel!" makinya, dengan cepat membuka pintu balkon untuk menghirup aroma segar suasana malam.

Dalam hening, Acha menatap gelapnya langit malam. Meskipun Devid sangat konyol, ia sangat bersyukur masih dipercayakan oleh Tuhan untuk menjaga dan menjadi istri dari seorang Devid yang telah dikabarkan meninggal di dua kali episode kehidupan. Setitik air mata mengalir, disusul air mata lainnya.

Kehangatan dirasakan, meligkar sepasang tangan kokoh yang warnanya mulai kecokelatan karena teriknya matahari di pesisir pantai. Acha menyandarkan kepalanya ke dada bidang seseorang di belakangnya itu. Aroma Devid masih sama, aroma yang sejak dulu Acha kenal. Bukan aroma parfum, tetapi aroma tubuh yang menyeruak.

"Suka nangis di sini?"

Acha mengangguk cepat. "Minta sama Tuhan, secepatnya orang yang gua sayang kembali apa pun kabar buruk yang datang gua gak peduli, sebelum liat wujud asli lo di depan mata gua," jelasnya, terasa sesak Acha menjelaskan rasa lukanya.

Devid mencium dalam puncak kepala Acha, digenggamnya jemari cewek mungil dan bawel yang pernah ia temukan, sebagai tetangga paling dekat semenjak ia hidup.

"Di sana jarang ujan, Cha, jadi obat penenang bahwa lo ada buat gua tuh, cuma liat bulan aja. Gua yakin, lo natap bulan yang sama gua tatap juga," lirihnya.

Acha terisak. "Jujur, gua gak butuh penjelasan panjang selama sepuluh tahun lamanya kita berpisah, tapi ... gua selalu penasaran, Dev!"

"Gua tau, gua butuh waktu, Cha."

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang