47. Richard

255 39 0
                                    

"Sebuah pujian yang menutupi rahasia. Membuat saya, hanya menganggapnya biasa."

Devid sudah siap dengan seragam batik dan celana abunya. Sekarang pelajaran seperti biasa akan dimulai, awal semester dua. Disemprotkannya pewangi bermerek, seoles gel rambut tak membuat berantakan, tertata rapi. Tangannya menggapai sesuatu di dalam lemari, membuka tutupnya lalu menelannya cepat diakhiri air putih yang mengalir di kerongkongannya.

Sweter abu tak bergambarnya sudah menempel di badannya, handband hitam pun terpakai, agar rambutnya tak berantakan. Ransel hitam yang dihiasi tali sepatu di depannya, sudah ia sampirkan seperti biasa dan berjalan menuruni anak tangga. Nasi goreng dipadukan telor mata sapi kesukaannya sudah tersedia, tak biasanya meja makan hanya menyediakan dua piring. Mengartikan, Acha takkan datang.

"Kalian berantem soal apa lagi, Dev?" tanya Dinda sambil menuangkan air putih ke gelas.

Devid meletakkan ranselnya di sebelah kursi yang kosong. "Entah, Ma, Acha lagi aneh-anehnya," timpal Devid seraya duduk manis siap makan.

Dinda pun duduk di tempatnya. "Kamu ini, mukanya dijelekin mulu, tuh!" jelas Dinda, "oh, ya, kamu tahu tetangga baru itu?"

Devid menghentikan suapan keduanya. "Siapa? Cepet amat!" ketusnya.

"Kayaknya orang luar, deh, matanya itu, Dev ... biru terang! Pertama Mama langsung terpana, loh, kemarin mau kenalan langsung tapi ada pelanggan. Jadinya gagal!"

Suara dentingan alat makan menggantikan kesunyian. Devid masih pusing gara-gara semalam. Ia merasa Acha akan bodoamat kepadanya, entah sampai kapan. Namun, bayangan liarnya terhenti oleh teriakan Acha di depan.

"Lah, kirain gak bareng," ucap Dinda bingung.

Bibir Devid tersungging, secepat mungkin meneguk air putih. "Assalamualaikum!" salam Devid, diakhiri mencium kedua pipi Dinda.

"Waalaikumsalam," balas Dinda.

Acha sudah bersedekap di ambang pagar yang terbuka lebar, senyuman Devid pun semakin lebar. Dikeluarkannya motor yang terparkir di sebelah mobil milik ibunya di dalam garasi. Suara derungan mesin menggema, mendekati Acha. Tanpa sepatah kata, begitu saja menaiki jok belakang.

Tak salah lagi. Acha masih marah kepada Devid. Sepanjang perjalanan hanya diam, sampai di depan Indomaret Acha menghentikannya. Devid pun menurut, lalu Acha langsung masuk tanpa mengajaknya.

Namun, Devid malah mengikutinya tanpa ajakan Acha. Langkahnya menuju makanan ringan di belakang, setelahnya membawa minuman. Devid mengernyitkan keningnya dalam, ia pun mencekal tangan Acha.

"Kenapa bawa satu? Gua mana?" tanyanya melihat Acha hanya mengambil sebuah milk shack.

Tatapan Acha kentara masih kesal. "Lo gak usah main ama gua, jangan ke kelas lagi!" tegas Acha lalu melewati Devid begitu saja.

Tak tinggal diam. Devid tak bersalah, kembali dicekalnya tangan Acha, untung saja keadaan Indomaret sangat sepi pengunjung. Hanya beberapa CCTV saja yang menyaksikan mereka berdua.

"Gua gak salah, Cha, gua gak tau apa yang lo sebutin kemaren!" ujar Devid dengan mimik serius.

Acha, tak bisa memercayai seseorang begitu saja hanya sepihak, ia butuh pula penjelasan dari Alex. Tangannya menyentak, membuat cekalan Devid terlepas.

"Gua gak peduli, anehnya ... kenapa lo ngurusin hidup gua mulu, sih, Dev!" ucap Acha, dadanya turun naik menahan emosi. "Gua juga gak pernah, ngurusun hidup, lo!" lanjutnya.

Rahang Devid mengeras. "Ayah lo titip pesan, jaga anak tunggalnya, jangan sampe dibodohi ataupun mencintai orang bodoh! Lo tanggung jawab gua, Cha ...," kilah Devid, tangannya siap menarik jemari Acha untuk digenggamnya.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang