130. Mulai Mendaki Lagi

27 3 0
                                    

"Kopi hitam tanpa susu sebagai pemanis, terasa pahit setiap memulai hari. Namun, lebih pahit lagi kenyataan hidup yang sedang dijalani."

Hari yang sudah dinantikan oleh Bram akhirnya sudah ada di depan mata. Tinggal menarik sebuah carrier, siap digendongnya di belakang punggung, tidak lupa menjemput dua orang yang membuatnya tak lelah menyunggingkan seulas senyum banyak bersyukur. Pembagian raport sudah dilaksanakan dua hari yang lalu, sesuai kesepakatan bersama Bram memilih perjalanan malam dari Jakarta ke Garut.

Devit yang semangat dengan niat paling ditunggu-tunggu, sudah terbalut jaket hangat segera masuk ke dalam mobil duduk di jok paling belakang, sedangkan Acha sudah duduk di samping kemudi. Ia mulai belajar untuk tidak mengungkit status dirinya dan Bram. Toh, buktinya hanya sebagai teman, asalkan jangan bersikap berlebihan saja.

Duduk di samping kemudi pun menghargai, Acha bukan menumpang tetapi ingin menemani dan menghargai. Tidak mungkin juga, setelah Devit terlelap ia juga akan diam-diam tidur melupakan Bram yang membawanya pergi. Sesuai rute perjalanan yang pernah ditempuh oleh Bram juga beberapa info dari pendaki lain, hanya butuh waktu tiga jam.

Suasana malam itu dikuasai dengan ocehan Devit di belakang, tentang bagaimana perjalanan nanti menuju puncak. "Awas, ya, Om Bram harus gendong, kalo Devit kecapean!" tuturnya, menciptakan tawa dari dua orang yang ia cinta di depan.

"Nanti, om tinggalin kalo kamu kecapean! Masa, anak cowok lemah," ejek Bram membuat Devit mencebik kesal.

"Ih! Om Bram ...! Udah janji, loh, bakal jaga Devit," sungutnya, seraya mendekap kedua tangannya di dada.

"Kapan coba janjinya?" tanya Bram pura-pura lupa.

Devit melempar tatapannya kepada Acha. "Kapan, ya, Ma? Devit, lupa ...," ringisnya dengan mimik menggemaskan.

"HAHA!" Acha dan Bram lagi-lagi tertawa lepas.

Begitu sempurnanya percakapan penuh tawa. Secepat kilat, suara dari belakang sudah senyap hilang tergantikan suara kendaraan dari luar. Acha menoleh, Devit sudah tertidur dengan nyaman. Tadi ia memang memintanya jika sudah ngantuk, langsung tidur saja. Jangan mempermasalahkan belum sampai di tempat tujuan dan Devit menurut.

Tubuh mungilnya terhempas tiduran dengan tenang, diliriknya Bram yang masih fokus menatap ke depan. "Mau permen kopi? Takutnya lo ngantuk?" tawar Acha, seraya menatap jam tangannya yang sudah menunjuk pukul sembilan, mengartikan bahwa mereka sudah menghabiskna waktu satu jam dalam perjalanan.

Bram menoleh. "Gak usah, udah biasa juga nyetir malem, kok. Lo sendiri belum ngantuk?" tanyanya balik.

Acha menggeleng lemah. "Sebelum berangkat gua sengaja minum kopi dulu," balasnya.

"Kebiasaan, masih kopi item plus pahit juga?"

"Iya, gua belum berani ngambil kopi kapucino ataupun susu yang manis. Meskipun luka gua udah terobati sedikit demi sedikit."

Penjelasan Acha membuat sudut bibir Bram tertarik, menciptakan senyuman. "Lo masih percaya dia bakal kembali?"

Tatapan Acha berpaling, menatap cahaya dari kejauhan sana yang tertutupi oleh rerimbun daun pepohonan lebat. Ia menyandarkan kepalanya ke kaca pintu mobil. "Gua selalu berharap gitu, kalaupun Tuhan masih kukuh maksa gua bersabar, sampe lima tahun yang akan datang. Gua bakal tetap menanti, Bram."

Ya, Bram tahu itu. Hati Acha sudah benar-benar milik Devid seutuhnya dan takkan mungkin lagi membuka hatinya bagi lelaki lain. Begitu pula untuknya, Bram menelan ludah kasar, lalu berkata, "Kesetiaan lo emang gak abal-abal, Cha, gua salut sama lo!"

Acha membenarkan posisi duduknya, melirik Bram serius. "Makanya, sadar dong dari kekonyolan. Lo harus buka mata, bukannya Anya lebih sempurna dari gua?"

Bram tidak membalas, tatapannya seolah tak peduli akan ucapan Acha dan barusan. Mengetahui Acha masih menunggu responnya, dengan cepat ia mengeluarkan earphone menjejali kedua lubang telinganya.

"Lo aneh, Bram," lirih Acha, lalu menghirup udara dalam-dalam memilih memaksakan kedua mata terpejam semoga ia bisa tidur seperti Devit dengan nyaman di belakang.

Dari sudut mata kirinya, Bram baru berani menatap wajah Acha yang tak lagi menatapnya penuh harap jawaban dan luka yang terpendam. Bram segera tersadar, ia sedang mengendarai mobil, sedangkan matanya tak fokus ke depan. Sialan memang! Sudah tahu membawa dua nyawa sekaligus, Bram mulai memfokuskan diri, lalu memutarkan lagu.

Ya, Bram memang dari tadi tidak sedang mendengarkan lagu. Sampai menangkap lirihan Acha sebelum memejamkan kedua matanya. "Aneh banget emang, gua orang yang merjuangin agar lo bisa ketemu sama Devid lagi. Ehh ... semakin aneh lagi, gua malah suka sama lo, Cha," batinnya.

Perjalanan terakhir sebelum memulai pendakian, tepatnya di Desa Tarogong Kaler sesuai titik temu rombongan pendaki yang berjumlah sepuluh orang, termasuk Bram, Acha dan Devit. Suasana salah satu desa dari Kota Garut terasa dingin menusuk tulang. Dalam keadaan malam seperti itu, Bram dapat menangkap di depan rumah penduduk kebanyakan masih sibuk mem-packing sayur-sayuran.

Ada juga yang mulai menaikan belasan karung sayuran ke atas mobil bak terbuka, Bram menemukan tikungan mengakhiri perjalanan malamnya. Di samping kanan dan kiri terdiri dari bangunan desa, samping kanan adalah tempat kebanyakan pendaki yang memilih tidur atau beristirat sebelum pendakian, sedangkan di samping kiri bangunan lain yang ramai dengan musik Sunda.

Setelah memarkirkan mobil, Bram melirik Acha yang masih terlelap dengan napas teratur begitu juga dengan Devit. Terpaksa Bram harus membangunkan keduanya. "Cha, udah sampe," ucapnya lembut.

Perempuan dengan hoodie putih, dipadukan celana jins itu tidak merespon, terpaksa Bram menggoyangkan bahu Acha. "Bangun, Cha ...," ulangnya dan berhasil membuat kedua mata itu mengerjap.

"Eh, dah sampe?" tanyanya celingukan, lalu menegakkan badannya.

Suara musik dari luar menyadarkan Acha, ia segera keluar siap membangunkan Devit. Dari samping lain, Bram segera mengeluarkan dua carrier dan daypack milik Devit yang hanya berisi makanan bocah mungil itu saja. Setelah berhasil membangunkan Devit, Bram memintanya untuk menunggu, sedangkan ia bersiap pergi ke depan kantor desa yang masih ramai.

"Malam, Pak," salam Bram, seraya menjabat tangan satu per satu penjaga di sana.

"Malam, dari Jakarta, Kang?" tanya salah satu penjaga.

"Iya, Pak, mau nanjak besok pagi. Saya dari rombo—"

"Oi!" seru seseorang dari belakang Bram.

"Eh, Mas Irsad, ya?" Bram menyambut pelukan dari lelaki itu.

"Iya, ini Mas Bram, kan? Yang katanya dari Jakarta?"

Dari arah lain, Acha sudah dibawa masuk ke dalam oleh Atul. Orang yang mengajak Acha ke Guntur dan nyatanya, Bram yang meminta. Acha sudah tahu karena Atul menceritakan itu semua. Devit yang masih mengantuk langsung tiduran di sebuah karpet, ruangan tanpa banyak barang itu terasa sangat lapang. Tidak lama Bram datang dengan Irsad.

"Tidur lagi, Cha, kalo mau ke toilet, tuh!" Bram menunjuk tepat di ujung ruangan. "Masuk aja, nanti ada toilet," lanjutnya.

Acha mengangguk. Ia memutuskan mengeluarkan slepping bag dari carrier-nya untuk Devit dan dirinya sendiri. Seperti pria lainnya yang memilih menghisap rokok dan menyeduh kopi, Bram duduk di antara lima orang yang tak asing baginya. Karena dari beberapa orang itu ia mengenalnya saat pendakian ke gunung lain.

Pembicaraan ke sana ke mari dengan topik yang berbeda-beda, tak terasa berhenti karena kumandang azan subuh. Kumpulan pendaki itu segera mengambil air wudu, disusul empat orang lainnya yang tersisa dengan wajah khas bangun pagi.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang