80. Butuh Jawaban Bukan Menghindar

115 26 17
                                    

"Butuh penjelasan, bukan hanya rasa khawatir yang berlebihan."

Devid

Penampilan Devid sudah rapi, ia memakai kemeja putih berpola garis biru muda, celananya masih seperti biasa jins hitam. Ia bersiap menyalami Dinda. Namun, ibunya itu malah menjauhkan tangan kanannya, lalu menunjuk carrier bekas pendakian yang kotor di samping mesin cuci.

"Kamu ngerokok?" tanya Dinda karena didapatinya bungkus rokok yang masih menyisakan beberapa batang, di dalamnya.

Devid mengacak rambutnya malas. "Waktu kedinginan doang, Ma, gak banyak kok, cuma ...." Ia menjeda, sembari menghitung dengan jarinya. "Lima kayaknya."

"Astaga, cuma kamu bilang? Mama gak mau kenapa-napa, Dev, dulu kamu gak pernah ngelakuinnya!"

"Ma, lagian aku sakit apa, sih? Buktinya masih sehat kok, gak ada batuk atau kayak sesak napas," protes Devid, ia sangat mengingat awal percobaan merokok bersama teman tongkrongannya.

Wajah Dinda menahan emosi. "Mama, tegaskan sekali lagi, jauhi rokok! Apa jangan-jangan setiap naik gunung kamu merokok, ya?"

Enggan memperpanjang masalah, Devid begitu saja pergi berlalu. Meninggalkan Dinda yang masih marah kepadanya. Dia tidak salah, Dinda yang salah tidak menjelaskan larangannya. Di depan, Devita langsung menghampiri dengan wajah ceria. Ia siap berangkat ke kampus. Walaupun badannya masih terasa remuk karena pendakian. Ia pun duduk di jok belakang, tidak lupa memeluk pinggang Devid dengan erat.

Suara piano di ruang musik menjadi teman selama menyenandungkan lirik baru dari guru seni. Ruangan bernuansa hitam putih itu terasa nyaman, dengan penerangan cukup terang dan dinginnya suhu dari pendingin ruangan. Tingkat kejernihan suara menjadi hal yang paling penting. Jadi, seorang penyanyi sangat dianjurkan menjaga pola makannya. Takut, pita suara berubah atau sakit kerongkongan. Termasuk Devid dan Devita.

Mereka berdua fokus dengan notasi yang diberikan gurunya. Minggu depan, mereka diundang oleh seorang pendiri dari sebuah perusahaan. Menjadi penyambut tamu, di hari ulang tahun anaknya yang beranjak dewasa. Bukan hal baru lagi, mengingat Devid dan Devita sudah dikenal banyak orang. Pula, karya mereka sampai dinyanyikan oleh penyanyi handal. Di samping itu, Devid bangga atas pencapaiannya, tetapi ia sangat menolak penuturan orang-orang menganggap dirinya berpacaran dengan Devita.

Bukan kurang cantik atau lebih mementingkan bersahabat. Devid sering berganti pacar, sayangnya ia hanya bercanda saja, bukan mementingkan perasaan atau memang dari hati mencintai. Semuanya hanya candaan, mengingat semua perempuan yang mendekatinya hanya kagum akan rupanya, bukan mengobati rasa ragu yang selama ini terpendam dalam. Dering ponsel Devid membuatnya izin keluar ruangan, Devita ingin mengikutinya. Namun, dirinya belum tes vokal.

"Apa, Ma?"

"Nanti, bawa obat di dokter Nizam, ya, jangan lupa."

Devid mengembuskan napasnya panjang. "Buat aku?"

"Buat siapa lagi? Udah, ya, mama masih ada kerjaan."

Panggilan pun terputus, sedangkan Devid memijat keningnya yang terasa pening. Diliriknya jam tangan, lima menit lagi waktu istirahat. Karena ia sendiri sudah tes vokal, untuk apalagi kembali ke tempat semula? Tidak peduli meninggalkan Devita, ia pun berjalan menjauh menuju taman belakang. Di mana, tempat yang paling sepi dan jarang dikunjungi mahasiswa lain.

Tubuhnya bersandar di sebuah pohon buah, daunnya yang rindang berhasil menghalau sinar matahari. Devid menyelipkan ponselnya ke saku celana, menatap ke depan hamparan hutan tanpa ujung. Masih banyak pertanyaan tentang masa lalunya. Dari dulu ia ingin bertanya, tetapi Dinda selalu memberikan jawaban aneh dan kentara enggan mengungkit masa lalunya. Jadi, semuanya berawal dari apa sampai penyebabnya demikian?

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang