59. Berkemas

207 28 0
                                    

"Tuhan, selalu tahu bagaimana kita pergi dari zona keraguan. Di mana luka terasa, apalagi senang yang tak pernah datang menyapa."

Acha

Sepanjang jalan, aroma wangi segar bunga yang berjejeran tertanam menjadi daya tarik—ciri khas akan Kota Kembang. Kupu-kupu dan kumbang, saling menyapa di setiap kelopak bunga. Mengantarkan pesan, malam akan tiba bersiaplah pergi dan esok kembali. Di balik kaca tebal sebuah bus seorang gadis menatap nanar jalanan luar, bersandar tak ada teman. Hidupnya berubah total, menjauh pergi dari keramaian. Memang, memiliki rahasia itu sangat menyakitkan, apalagi orang yang teramat dekat kini menghilang.

Suara dering ponsel tak dihiraukan. Biarkan berteriak bising, ia dulu juga seperti itu. Menangis tak dipedulikan, maka biarkan seorang perempuan kerap dipanggil mama merasakan. Bus pun berhenti di sebuah halte, mengangkut manusia baru atau turun sampai di tujuan. Bangku kosong di samping Acha kini sudah diduduki. Seorang lelaki berparas biasa, tetapi rapi. Mereka sama-sama terdiam, sampai bus kembali berjalan. Kumandang Azan Magrib terdengar mengalun damai, begitu pula dari arah depan—pengemudi.

"Kamu Acha, teman Devid?"

Acha tersentak, mendapati raut wajah tanya. Dia tak pernah menangkap wajah itu. Jika, memang mereka pernah bertemu di sekolah.

"Iya, tau dari mana?"

Lelaki yang memiliki kumis tipis itu tertawa sumbang. "Tau atuh. Meskipun ... kelulusan udah sebulan yang lalu, tapi jangan biarkan berlalu, hehe."

"Emang elo siapa?"

"Kamu teh gak kenal sama saya? Aduh ... padahal dari taun ajaran pertama." Lelaki itu menggantungkan ucapannya, "sampai tiada, saya satu bangku sama Devid."

Acha seolah direnggut masuk ke dalam lautan penyesalan lagi. Ia mengingat bagaimana truk oleng menabrak langsung tubuh Devid sampai terpental jauh. Dikelilingi orang di bawah guyuran hujan.

"Oh, sorry gua gak pernah masuk ke kelasnya." Acha tersenyum kaku dan kembali menatap jalanan, sudah diterangi lampu temaram.

"Kadang, saya juga rindu sama gelak tawanya. Apalagi kalo de—"

"Cukup, gua gak mau denger apa-apa lagi."

Lelaki itu terlihat sangat terkejut. Namun, ia memilih menyimpan ucapannya yang merasakan rindu kepada teman satu bangku. Teringat bagaimana Devid selalu memberikan jajanan, di mana ia tak bisa membeli karena keadaan ekonomi. Semua tergambar jelas kesetia kawanannya. Sekarang berbeda, tak ada lagi gelak tawa di kelas. Bisu adalah haru. Bus kembali berhenti dan di situ Acha harus turun pergi.

"Rumah Devid juga di sini berarti, ya?"

Acha tetap berjalan menuju pintu keluar, sedangkan orang yang bertanya hanya bisa menelan ludah kasar. Sampai menapaki jalan beraspal, langkah Acha kembali gontai, memang tak ada kenangan di malam hari bersama Devid. Kecuali di saat makan-makan tahun baruan. Bernyanyi di bawah sinar rembulan, diiringi petikan gitar. Semua sirna, kala lelaki pemilik senyum manis itu pergi. Bukan meninggal dunia, tetapi pergi menghilang. Jejak di Jakarta belum ditemukan, mengapa? Entahlah, setelah malam mencekam tiba. Komunikasi bersama Dinda hilang juga, mungkinkah ingin hidup tanpanya?

Halaman rumah yang terbiasa kosong melompong kini didapati sebuah mobil Alpart putih. Sudah dipastikan dua manusia itu datang, siap meluncurkan nasihat bak orangtua paling sayang kepada anak. Acha ogah-ogahan berjalan, di dalam ruang tamu cahaya lampu sudah terang. Saat langkahnya menuju anak tangga, teriakan Sinta menggema memerintah agar makan malam bersama. Apakah Acha akan menurut? Tentu saja tidak. Makan di depan dua manusia itu? Ayolah, lebih baik ia tidak makan sekali pun.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang