37. Ada apa?

320 44 3
                                    

"Ini jawaban apa? Jangan biarkan semua hancur. Kita baru saling mengenal, menautkan tali persahabatan."

Acha & Reina

Lampu ruangan tengah telah padam, tinggal kamar Devid saja yang terang karena ulah Acha yang ngotot ingin membaca novel sampai tengah malam, sedangkan Devid dengan kedua kuping yang tersumpal—jemari tangannya tak henti menari-nari di atas layar ponsel memainkan game Free Fire.

Namun, di antara mereka tak mengeluarkan suara sedikit pun. Takut Dinda datang lalu merebut semuanya dari tangan. Devid hanya bisa mengigit bibir bawahnya agar tak mengumpat, kakinya menekan kasurnya dalam-dalam, seakan menyalurkan rasa tegang.

Jarum jam dinding berwarna hitam telah menunjukkan pukul 01.35 WIB beberapa lembar lagi Acha akan sampai ending. Devid pun, ia sudah menyerah, beberapa kali menguap mulai merasakan matanya yang berat. Dilempar ponselnya itu ke samping, lalu berbaring sambil memejamkan matanya.

"Chang, tidur, yuk, besok masih Kamis. Masuk sekolah," ajak Devid.

Acha bergeming. Tinggal lima puluh lembar lagi yang tersisa.

Devid kembali menguap. "Huah! Gua duluan," lirih Devid, tangannya memeluk guling erat.

Waktu enggan berhenti. Namun, kedua bola mata Acha bukannya melemah yang ada semakin semangat membaca. Hingga akhirnya novelnya telah digarap habis, tak kira ceritanya menguras emosi. Acha meregangkan kedua tangannya.

Devid sudah mangap-mangap dalam tidurnya, Acha malas turun ke kamar tamu khusus dirinya. Walaupun Dinda memercayakan takkan terjadi apa-apa di antara mereka. Namun, Acha yang selalu waspada. Meskipun belum terbukti Devid pernah macam-macam kepadanya.

Acha pasrah harus tidur di samping Devid, selimut tebal masih berada di antara kaki mereka. Ia pun menariknya sampai ke dada, tanpa menyelimuti Devid yang tidur tengkurap dengan mulut mangap.

***

"Ehh ...," lenguh Acha merasakan guncangan di kedua bahunya.

"Bangun!!" teriak Devid. Setelan baju batik abu telah siap ia pakai, kecuali alas kaki yang masih menggunakan kaos kaki saja.

Acha menyembunyikan wajah dengan selimut, enggan bangun dari tidurnya. Devid dibuat geram, ia pun menarik selimutnya sampai Acha kembali merengek.

"Masih dingin ... balikin, gak?" sungut Acha menggapai-gapai dengan kedua mata masih tertutup rapat.

Devid menarik kedua tangan Acha, lalu mendorongnya ke lantai bawah menuju kamar mandi. Karena di rumah Devid hanya disediakan satu kamar mandi saja.

Terlihat Dinda sudah segar sedang membersihkan sofa sembari bersenandung. Acha pun tersadar, ia memasuki kamar mandi dengan malas-malasan.

Setelah selesai segala macam, Acha kembali ke rumah Devid setelah berganti baju ke rumahnya. Sinta masih belum pulang, sebuah sms datang, ternyata mamanya itu berada di Bali bersama kliennya.

Mereka bertiga makan bersama, suara siaran liputan berita pagi menggelegar. Tiba-tiba, ponsel Dinda berdering di dekat kulkas. Ia pun mengangkatnya.

"Hallo?"

"Mba? Maaf, ya, kemarin saya capek perjalanan malam. Jadinya gak bisa langsung ngabarin," jelas Yogi terdengar lelah.

Dinda melirik Acha dan Devid. "Terus, bagaimana sekarang? Dirawat saja, Yo?"

"Iya, Mba, Alhamdulillah lancar. Tapi ... kami sudah sepakat akan pindah ke sini." Penjelasan Yogi membuat Dinda mematung.

Acha dan Devid masih belum tahu apa yang dibicarakan. Dinda pun kembali tersadar.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang