112. Biarkan Seperti Ini

93 23 20
                                    

"Kadang, setelah merasakan bahagia yang teramat itu kita dipaksakan berpikir lagi, ada apa ini? Apakah Tuhan memberikan segalanya karena ada sebab tertentu? Lagi, sebuah prasangka."

Devid dan Acha selalu menceritakan apa pun yang dilalui, apalagi masalah yang benar-benar harus diketahui bukan dipendam sendiri. Kepulangan Acha dari kafe memang tidak membuat Devid segera tahu karena dia sendiri, sedang menghabiskan waktu manggung solo. Jadi, setelah ia pulang barulah Acha bercerita, tentang pertemuan dirinya dengan Bram yang tidak dijanjikan. Termasuk ungkapan rasa suka.

Devid tidak terkejut sama sekali, toh, awal mengenal Acha juga waktu di Sekretariat MAPALA ia sendiri menyimpulkan bahwa Bram sudah diam-diam menyukai Acha, bahkan dikira mereka berpacaran. Namun, nyatanya tidak benar, hanya Bram saja yang menyukai Acha. Seolah memaksa mengingat kembali cinta bertepuk sebelah tangan. Karena hanya mampu mencintai dalam diam.

Di malam itu, dengan senang Devid mendengarkan, tangannya masih menari-nari di atas perut Acha yang tertutupi baju daster. Semenjak diketahui bahwa ia mengandung, Sinta ataupun Dinda langsung menyarankan memakai baju daster. Katanya agar pergerakan Acha dan janinnya bisa bebas. Devid sendiri menanggapi agar bayinya bisa bermain di dalam dengan leluasa.

Entah untuk keberapa kalinya, mereka bertengkar kecil soal nama bayi, padahal bayangkan saja baru satu minggu! Ah, bagaimana jika sudah membesar perut Acha? Dipastikan pertengkaran soal kamar yang akan mereka bicarakan. Benar apa yang diperkirakan. Acha mulai mual-mual, seperti ibu hamil lainnya.

Seiring berjalannya waktu, usia kehamilannya memberikan jawaban. Bayi yang di kandungnya adalah seorang lelaki. Devid menjerit histeris di ruang dokter kandungan mencium Acha dalam-dalam di depan dokter. Rasa syukur mereka ucapkan. Tidak terasa usia kandungan Acha menginjak tujuh bulan, mulai terlihat bahwa ia benar-benar mengandung. Di usia muda.

Setiap hari pula Sinta selalu datang memastikan kesehatan anak dan calon cucu. Devid juga memilih banyak menghabiskan waktu bersama Acha, dibanding bekerja di luar. Karena hanya sekali dalam satu minggu manggung, kehidupannya akan tetap terjamin mengingat bayarannya sangat besar. Apalagi nama Devid sudah dikenal sebagai calon papa muda. Mengetahui usia kehamilan Acha, Devita juga gencar mencari lelaki yang melebihi Devid.

"Jaga kesehatan, jangan turun ke bawah sendirian."

Pesan itulah yang kerap diberikan Sinta sebelum pulang. Setelah Sinta, biasanya Dinda pula selalu ada di sana, memberikan buah-buahan segar. Lagi, apartemen itu terasa hidup dan penuh kebahagiaan. Sampailah, di mana Devita membawa gandengan. Memamerkan kepada Acha bahwa dia juga bisa.

"Akhirnya lo kagak jomlo lagi, Vit," ucap Devid, seraya menepuk bahu temannya itu.

Devita segera memeluk manja tangan kokoh pacarnya. "Emang elo doang yang bisa kawin!" ketusnya.

Mendengar respon seorang Devita yang dikenal manja, membuat Krisna tersenyum kecil menahan malu. Tidak jauh penampilannya memang dari Devid, hanya gaya rambut dan warna kulitnya saja yang terlihat kecokelatan.

Hari-hari selanjutnya, Devid tetap berada di sisi Acha. Kembali menginginkan nama bayinya adalah Devid. Acha menoleh aneh, mengapa nama anaknya harus sama dengan suaminya? Aneh bukan? Ah, biarkanlah, sebelum tidur sudah jadi rutinas, Devid mengelus-elus perut buncit Acha.

Kadang dengan hati-hati membantu istrinya itu beranjak dari kasur, lalu menuntunnya sampai kamar mandi. Diiringi tawa karena merasa Acha paling lemah dan berat di sana. Dulu, sebelum perutnya benar-benar membesar, Acha masih seperti anak SMA. Bahkan anak SMA pula tidak sekecil tubuhnya.

"Namanya Devid aja, ya?" ulang Devid, masih tiduran di kasur lipat bersama Acha.

Acara nonton sinetron Indonesia pun harus terhenti, kembali Acha menoleh mendapati wajah Devid yang meminta agar Acha menyetujui nama anak mereka Devid.

"Nanti gua panggil Devid pada pusing, 'kan? Ngapain sih, David aja tuh mirip!" saran Acha.

Devid menggeleng tegas. "Lo gak bakal susah bedainnya, udahlah Devid aja, nama gua juga bagus kok!"

Acha bangkit, duduk bersandar ke sofa, menutup telinganya dengan kedua mata masih menatap ke layar televisi. Melihat Acha yang tidak menjawab permintaannya, Devid pun berdiri menghalangi layar televisi agar Acha hanya bisa melihat wajah imutnya.

Tidak bisa dihindari, melihat kokonyolan Devid yang mulai gila. Di mana suaminya itu memeragakan bentuk hidung babi. Acha tertawa sambil melempar boneka miliknya. Devid berhasil menghindar, lalu ia berlarian menuju kamar.

"Dasar, babi jadi-jadian!" seru Acha, kembali melanjutkan tayangan malam itu di televisi.

Tanpa sepengetahuan Acha, Devid diam-diam menyalakan sebuah kamera di dalam kamar. Mulai dengan atraksinya yang akan disimpan dalam memori. Sampai, rasa kantuk membuat Acha kembali tiduran, sedangkan di dalam kamar Devid berhasil menyimpan video yang tidak pernah Acha ketahui isinya. Apakah kekonyolan?

Melihat Acha tertidur lelap dengan perut buncit. Membuat Devid bersyukur memiliki istri sepertinya. Manjanya tidak bisa dihindari, tetapi Devid sayang. Di saat mengidam selalu aneh-aneh, sampai meminta agar Devid mandi menggunakan kebaya di dalam bak. Maksudnya apa itu? Apakah anaknya akan sekonyol dirinya?

Tawa tertahan, Devid berbaring di samping Acha, lalu mengelus perut buncit itu lagi. Tidak bosan memandang calon anaknya yang nanti akan lahir ke dunia, dengan sekuat tenaga tanpa membangun Acha, Devid membopongnya sampai berada di dalam kamar. Berapa beratnya, ya? Ah, tidak terlalu, mengingat perjuangan Acha menghindari bau-bau tajam, muntah  tanpa diinginkan.

"Dev ...," panggil Acha, tangannya menggapai-gapai ke samping, di mana Devid selalu ada di sana.

Devid yang masih berdiri di ujang ranjang pun mendekat, memeluk Acha memberitahukan bahwa dirinya ada di sana. Merasakan keberadaan Devid di sisinya sedikit bibir mungil itu terangkat, mengukir senyuman. Dalam keadaan hamil Acha tidak bisa seenaknya membalikkan badannya. Jadi, Devidlah yang memeluknya penuh sayang dan bahagia.

"Tidur, besok masih harus bangun," bisik Devid diakhiri tawa.

"Ya kali gua gak bangun lagi," balas Acha, hanya kepalanya yang mampu menoleh menatap wajah Devid yang sama-sama berhadapan dengannya.

Embusn napas bau mint terasa menguar, telunjuk Devid terulur mengikuti garis tulang wajah Acha, lalu Acha memejamkan matanya mencoba tidur kembali. "Gua sayang sama lo," lirih Devid, air matanya berhasil membasahi sarung bantal, tanpa sepengetahuan Acha.

"Semoga, anak kita bisa nemenin sampai tua, gua ngerasain gimana senengnya mama di saat gua jenguk."

Devid bicara sendiri karena Acha telah terlelap dalam tidurnya.

"Kalaupun maut harus memisahkan, gua rela Tuhan bawa gua dengan duluan. Gua rela, asal Acha ada yang jaga, yaitu anak kita, ya," lanjut Devid, tangannya semakin mengeratkam pelukan, menghirup harum tubuh Acha yang menjadi candu baginya.

Tidak ada alasan mengapa Devid merasakan bahwa ia lebih baik pergi dengan cepat. Ia merasa semuanya telah selesai, Acha benar-benar bahagia dengannya, mengandung anak mereka, lalu apa lagi yang belum tergapai? Devid meremas seprai kuat-kuat. Napasnya putus-putus, berdoa dalam hati agar keluarga kecilnya selalu bahagia. Meskipun tanpa dia.

Kok sedih, ya, ahhh si kucrut lebay, deh 😭

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang