76. Hujan Penghambat Pulang

125 24 19
                                    

"Harus selalu yakin bisa melewati rintangan dan jangan lupakan iringi dengan doa; ikhtiar."

Tatapan mereka berdua bersirobok. Tenggelam dalam hitam dan cokelatmya warna bola mata lawan. Sampai, Acha yang pertama kali memalingkan wajahnya, Devid menyadari kegugupan teman barunya itu. Dipastikan, jarang dekat dengan laki-laki, tidak seperti Devita. Jika, saling bertatapan bukannya salah tingkah ia malah menatap lebih tajam, tetapi sekarang bukan bersama Devita, Devid menyadarinya.

"Wajah lo item, banyak pasir yang nempel." Seketika Acha menyentuh pipinya, lalu balik meneliti wajah Devid yang di luar dugaannya.

"Sendirinya juga, kek arang!" Acha terbahak, melupakan sejenak rasa sakit di lututnya.

"Iyalah, gua, kan, penyelamat. Normal kalo ada bekasnya," ucap Devid, membanggakan dirinya berhasil menyelamatkan Acha. "Bentar, gua bawa air buat cuci muka."

Di saat Devid siap bangkit, tangan Acha mencegah pergelangan tangannya, Devid pun mengerutkan keningnya.

"Jangan pake air, ambilin aja tisu basah di carrier gua, sayang, mubazir kalo air."

Tanpa menunggu lama, Devid pun masuk ke dalam tenda milik Acha di samping mereka, setelah didapatinya tisu, ia pun kembali keluar seraya mengeluarkan dua lembar sekaligus. Tangan Acha sudah terulur meminta, tetapi dengan tenang Devid yang membersihkan wajahnya, dari kening ke pelipis dan terus menurun. Acha menelan ludahnya kasar, apa yang dilakukn Devid kepadanya?

Beberapa pendaki dari rombongan lain mulai bersiul, mendapati keuwuan yang jarang ditemukan. Devid hanya memberikan satu jempolnya lalu terkikik. Di sana pula, Acha bingung harus menghentikan perbuatan lelaki yang lama tidak dijumpainya atau membiarkan begitu saja. Bola mata mereka kembali bertemu, terpaku.

"Gugup amat, napa?"

Tentu saja Acha sangat gugup. Perlakuan Devid tidak ada di daftar pencariannya, itu sangat mencengangkan mengingat Devid dekat dengan Devita. Selesai membersihkan wajah Acha, Devid segera membersihkan wajahnya sendiri dengan asal. Seperti lelaki lain, seadanya asalkan sudah berusaha membersihkan. Acha terkikik melihatnya, lalu melihat lukanya yang sudah dibalut oleh perban.

Sebuah botol air mineral disodorkan kepada Acha, Devid tahu teman barunya itu pasti haus apalagi setelah berguling-guling dari ketinggian. Acha pun menerima diakhiri senyuman, dilihatnya Devid tidak membawa lagi botol minum Acha menyisakan setengahnya.

"Nih!"

Devid mendongak. "Abisin aja, gua gak haus," tolaknya.

"Gua juga udah cukup, kok, minum cepet!"

Malas menolak lagi, Devid pun menerimanya lalu langsung menghabiskan air mineral itu. "Sial, gua minum bekas mulut lo lagi."

"Jorok, ya?" tanya Acha, padahal dulu Devid dan dirinya tanpa canggung selalu makan dan minum bekas masing-masing.

Wajah Devid ditekuk malas, seraya berkata, "Nanti gua nanggung rindu."

"Ha?" Apakah pendengaran Acha yang salah? Maksudnya apa coba?

"Lupain, ucapan gua gak bisa diulang!"

Jeritan Devita terdengar di belakang mereka. Dia sudah sampai bersama kak Bubun yang memapahnya dari atas, dengan cepat Devid pun meminta maaf karena menjadi beban teman laknatnya. Di sana pula, Devita mengkhawatirkan keadaan Acha yang untungnya selamat, tetapi ada luka bekas di lututnya. Tidak lama kemudian, rombongan MAPALA juga sudah sampai. Mereka semua berkemas, sebelumnya sarapan dahulu dan berbincang-bincang salam perpisahan dengan pendaki lain.

Selanjutnya, perjalan pulang dimulai. Namun, anehnya cuaca berubah drastis. Yang tadinya cerah, hanya sedikit kabut sekarang langit mulai menghitam, pertanda hujan datang. Semua rombongan pun dengan cepat memakai jas hujannya, gerimis mulai berdatangan, sedangkan di depan track menurun sangat mengkhawatirkan. Mengingat Acha dan Devita tidak sempurna berjalannya. Kedua gadis rekan kak Bubun juga sangat kedinginan, mereka kebanyakan beristirahat di jalur menurun.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang