192. Devita Kembali

13 2 0
                                    

"Jika rintangan akan kembali datang. Pastikan, kita takkan melepas genggaman."

Setelah menelusuri semua momen galeri masa muda papanya, Devit pamit kembali ke rumah omanya. Devita sendiri merasa puas, meskipun tak lagi mampu memeluk raga Devid yang dulu ia harap sebagai teman hidup selamanya, sekarang ia mampu berdekatan nyaman bersama Devit, anak dari seseorang yang sangat ia spesialkan.

Untuk pernikahan gagalnya, jujur saja Devita sama sekali tidak setuju dan merasa bodoh menjadi perempuan yang tak sabaran! Apakah benar gosip di luar sana tentang hamil di luar nikahnya? Ya, memang begitu adanya dan Devita mulai menyesal, putri kecilnya menjadi korban ditelantarkan oleh ayah kandung dan keluarga mantan suaminya itu.

Lihatlah Devid yang dulu ia jaga, dibanggakan keluarganya malah menikah dengan perempuan di mana Dinda pun muak berdekatan. Namun, nasi sudah menjadi bubur, tetapi masih ada kan kesempatan lainnya? Apalagi sekarang Devita resmi menjadi wanita tanpa suami. Jika ia berani dekat dengan Devid lagi, toh dulu mereka sepasang partner tak terpisahkan?

"Liat aja, meskipun kehidupan gua berubah total semenjak lo ngilang. Detik ini juga, gua bakal ngerubah sesuatu yang dulu gua ikhlasin, bakal gua rebut kembali," batin Devita setelah tubuh tegap Devit hilang dari pandangan.

Di sisi lain, Devit merasa tidak enak kepada mamanya. Apakah ada semacam permusuhan kecil di antara mama dan teman lama papanya itu? Devit yakin, ia tak seharusnya menjawab jujur, ke mana barusan ia pergi.

"Oma?" panggil Devit seraya menutup pintu depan.

Dinda menoleh dari belakang pantry. "Jangan pulang, loh! Oma lagi siapan makan siang!"

Devit melempar tubuhnya ke sofa, mencari siaran televisi lain. "Kenapa bisa di Jakarta? Padahal kan kalian dulu asli orang Bandung, kan?"

Pertanyaan Devit yang tiba-tiba membuat Dinda menghentikan aktivitasnya. Menaruh sendok makan, lalu berjalan menghampiri cucunya itu.

"Emang gak boleh pindah domisili? Oma ini asli sini, kok! Papa kamu juga lahir di Jakarta, tapi dibesarkan di Bandung!" jelasnya panjang lebar, "Jangan bilang, kamu mau jadi anak Bandung, hah?"

Devit terbahak. "Enggak, Oma ... Devit cuma heran aja!"

Dinda menelan ludah kasar. "Ya udah, lebih baik kamu bantu oma siapin makan siang!" pintanya.

Untuk urusan dapur Devit sudah terbiasa. Karena Acha yyang mengajarkannya, bahwa semua mau cewek atau cowok itu wajib tahu dan bisa akan urusan rumah! Bukan hanya wanita saja, termasuk menata piring, mencuci dan tak lupa mencicipi masakan yang akan dihidangkan.

Selesai memindahkan masakan ke meja makan, Devit pun duduk di samping Dinda yang sudah bersiap memulai makan siang. "Gimana awal kelas delapan?"

Devit mengangguk-angguk kecil. "Lancar, kok, cuma ... nambah saingan aja, hehe," kekehnya.

Dinda tersenyum kecil. "Bagus, dong! Jadikan penyemangat, oke?"

"Siap!"

Karena enggan meninggalkan mamanya di apartemen lama sendirian, Devit pun pamit pulang setelah menghabiskan sepisin puding mangga yang Dinda buat. Dalam perjalanan pulang, Devit dikejutkan akan sebuah pesan yang dikirim oleh Bu Yasmin kepadanya.

Bu Yasmin
Dev, ini terserah kamu tapi ibu harap kamu mau ikut serta. Gak jauh kan, Singapura dari Indonesia? Kamu pasti bisa, apalagi kamu punya bakat di bidang renang.

Devit mengerutkan keningnya, sampai pesan dari Bu Yasmin berlanjut, melampirkan sebuah pamflet. Beasiswa untuk pelajar yang ingin melanjutkan masa pendidikannya di Singapura! Semua biaya dijamin dari sana, termasuk asrama.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang