101. Menghindar Dari Masalah

95 19 15
                                    

"Gua sadar sekarang, semuanya akan terasa gampang. Jika, saling bergenggaman bahwa semuanya akan terlewati secara perlahan."

Devid

Sebuah keputusan yang tidak gampang dijawab dengan cepat. Pukul delapan pagi seharusnya sudah bergaya tinggal menunggu jemputan. Namun, sayang dari jam enam pun Acha sudah berlari meninggalkan kosan, hanya dengan setelan baju olahraga dan sebuah ponsel yang menemaninya. Sekarang ia tinggal menunggu Devid tepat di sebuah pos ronda yang tidak jauh dari kosannya. Ia sudah menghubungi Devid tentang ibunya yang dipastikan akan diadakan pembicaraan tentang Arga dan dirinya.

Apalagi selain perjodohan? Zaman sekarang masih saja memaksa seseorang demikian? Ah, Acha lagi-lagi harus berlari menjauhi kenyataan, tetapi tidak segampang itu. Ia bisa berlari bersama Devid. Namun, tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka berlari ke mana? Jika pun memutuskan ke luar kota, bagaimana dengan kuliah? Masa depan yang menentukan segalanya! Oh, sulit memang, orang tua yang tidak merestui hubungan.

Tidak lama seseorang dengan setelan jaket hitam dan motor gede menghampiri Acha. Devid melepas helmnya. Terlihat wajah khawatir, padahal masih pagi, tetapi kenyataan pahit yang baru disampaikan memang harus terselesaikan. Lelaki itu duduk di samping Acha, sambil merapikan rambutnya, lalu menatap Acha dengan lembut, digenggamnya kedua tangan Acha. Masih tidak ada pembicaraan, perempuan di sampingnya memilih menyandarkan kepala ke bahunya.

Biarkan tenang sebentar, sebelum menangis harus menelan pahit kenyataan. Mereka hanya bisa terdiam, bukan? Menolak perjodohan, bagaimana dengan biaya kuliah? Apakah akan dihentikan? Jika, mereka menerima perjodohan, masa depan dan harapan bersama harus sirna lagi? Jangan, Devid dan Acha sama-sama menolak. Tanpa Acha sadari dan Devid yang enggan bercerita karena menurutnya, seolah memberikan luka.

Tadi malam, setelah selesai manggung. Grilna memanggil Devid untuk masuk ke ruang kerjanya sebelum pulang, tanpa berpikir ulang ia pun berjalan dengan santai. Namun, semua yang diharapkan tenang biasa, persoalan musik atau penggemar yang heboh, ternyata bukan itu yang jadi masalah. Katanya, Devita ingin dititipkan kepada Devid selamanya. Ingin dijaga, oleh lelaki yang selama ini menjadi teman menggapai karier nyata.

"Maksud, Om?" tanya Devid, bertanya lagi karena penjelasan Grilna tidak to the point.

Terlihat gerak tubuhnya yang kaku, sampai Grilna menjawab, "Ibu kamu, tante Lolita dan om sendiri." Jeda beberapa detik. "Sudah memutuskan, kalian akan kami jodohkan."

Bagai tersambar petir di siang bolong. Pendengaran Devid tidak salah, ia mendengar cukup jelas barusan. Perjodohan? Tanpa memandang mencinta dan dicinta? Bisanya hanya memaksa? Menggelar pelaminan super mewah dan melupa, apakah mereka akhirnya akan bahagia? Egois memang. Mengingat Dinda yang menjauhkan Devid dari masa lalu, sedangkan Grilna demi mengibarkan nama baiknya sebagai manajer Double D.

Pulang dari rumah Devita, Devid menghindari pembicaraan yang menyangkut musik bersama Dinda. Ia segera masuk ke kamar dan mendapati voice note yang panjang, Acha meninggalkan pesan untuknya. Didengarkan dengan perasaan campur aduk, ternyata besok lebih parahnya adalah Acha, yang siap mungkin bertunangan? Tanpa menunggu jawaban mau tidaknya perempuan yang sekarang nyata pacarnya.

Pukul tujuh sekarang, mereka sudah bertemu. Entah harus berbuat apa, perlukah mereka kabur? Ah, rasanya sangat berlebihan, tetapi lebih sadis lagi mereka yang sama-sama akan dijodohkna! Devid mengelus pelan puncak kepala Acha. Bola mata cokelat di depannya menatap sayu, ada banyak masalah yang terpendam di sana.

"Seru, ya, kalo kawin lari?"

"Tanpa restu kedua orang tua," balas Acha, menertawakan niat aneh Devid.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang