10. Hari Menyebalkan

907 211 73
                                    

"Seseorang yang bergurau tak layak atau menjengkelkan, artinya harapannya hanya satu, agar selalu tertawa lepas menyingkirkan luka yang ia rahasiakan sendiri jangan biarkan seseorang mengetahui."

Acha masih menggerutu tak jelas, sampai di perempatan jalan ia bingung mau melanjutkan untuk melihat sekolah barunya yang di sebelah kanan atau ke kiri kembali pulang.

Terpaksa Acha pun menepi, menunggu Devid yang ada dipikirannya itu pasti masih saling bertukar candaan menggoda.

"Modal muka doang! Emang gua gak bisa, tapi lewat prestasi bisa, dong!" sebal Acha sembari duduk di bangku kayu yang ada di sana.

"Woi, main ninggalin gua gitu aja!" teriak Devid menghampiri Acha.

Pandangan Acha pura-pura tak menyadari kedatangan Devid, ia pun berbicara seolah berbisik kepada sepedanya, "Murahan banget, ya, ke semua cewek digombalin, kayak tukang cengcimen!"

Devid yang mendengar mendengus tak terima. "Sirik bilang, Bos!" balasnya yang kini telah duduk di samping Acha.

"Ha? Emang gua tahu bulat digoreng dadakan lima ratusan!"

"Terus gua harus bilang wow, biar lo tau tahu bulat itu enak?!"

"Bacot!" balas Acha mendekap kedua tangannya di dada, tak lupa bibir mungilnya maju ke depan.

Tepukan ringan mendarat di pundak Acha. "Mau liat SMA Garuda?" tanya Devid.

"Gua gak pernah ke jalur itu, jadi gak tau berapa meter," ucap Acha masih menatap jalanan yang ramai oleh kendaraan.

"Bener juga sih, gimana kalo balik dulu? Nanti pake motor gua aja," saran Devid menelengkan kepalanya ke arah muka Acha.

"Itu bibir jangan dimonyongin gitu dong, tau rasa kalo gua cium," canda Devid terkikik.

Satu tamparan singkat tepat di dahi berhasil membuat Devid meringis karena ulah Acha. "Ad—duh! Lo napa sih? PMS, ha?!" oceh Devid mengelus dahinya.

"Cium pala lo peang! Ide baguslah kita pulang," balas Acha bangkit dari duduknya kembali menaiki sepeda.

"Kalo ide bagus harusnya dicium, bukan ditabok," goda Devid sembari merapikan rambutnya ke belakang.

"Cium aja rumput yang bergoyang!" Kedua kalinya Acha meninggalkan Devid sambil bersiul ria.

"He! Tungguin dong!"

Mereka saling kejar-kejaran menuju rumah yang tak jauh dari sana.

***

Devid segera menyalakan motornya dari garasi sedangkan Acha menyimpan sepedanya ke depan halaman rumahnya yang sepi karena mamanya masih belum pulang.

"Cepetan, Acha!" teriak Devid sudah siap dengan helm yang membuat kadar kegantengannya semakin meningkat.

Acha pun berlari memakai helm yang diberikan Devid. "Berangkat!!"

Di perjalanan mereka benyanyi ria mengalahkan bisingnya suara kendaraan dan dinginnya udara kota Bandung.

"Ternyata jauh, ya?" tanya Acha.

"Iya! Padahal SMA itu katanya yang paling deket ama kompleks kita," balas Devid.

Dari kejauhan sudah terlihat gapura bertuliskan SMA GARUDA berwarna abu muda tak lupa ciri khas batu hitam putih menandakan peninggalan bangsa Belanda.

Banyak para siswa ternyata yang hilir mudik di depan aula, karena memang Acha dan Devid menepi pada waktu jam istirahat.

"Ke cafe yang tepat di depan gerbang aja, ya?"

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang