167. Penghancur Bahagia

29 8 5
                                    

"Selalu ada likuan di setiap perjalanan hidup. Percaya bahwa tantangan akan terlewati dengan gampang."

Ekspresi Bram yang terkejut sulit untuk disembunyikan. Sudut matanya terus mengintai gerak-gerik Devid dan Acha tak jauh dari jangkauan, sedangkan Anya sendiri mulai memaklumi. Mengingat perasaan Bram yang masih enggan melepas wanita yang pernah ia sindir sudah menjadi janda. Ternyata semuanya salah. Karena suaminya sudah kembali. Walaupun Anya belum mendengar dia adalah lelaki sebenarnya dan sama sekali tak pernah bertemu Devid.

Di deretan kursi tamu lainnya Acha dengan hati berbunga-bunga mulai mengembangkan senyum termanisnya. Tangan kanan Devid tidak lepas merengkuh pinggang mungilnya. Setelah kejadian yang tidak terduga sebelum akad nikah berlangsung, satu per satu anggota keluarga Bram menatap kehadiran Acha di samping suaminya yang melontarkan guyonan gila.

Bisik penuh tanya dapat Acha saksikan diam-diam. Termasuk ibu Bram nampak terlihat kebingungan. Apakah Acha sudah memiliki pendamping hidupnya lebih cepat dari Bram? Jadi, kemungkinan itulah alasannya Bram memutuskan menikah dengan Anya karena wanita yang dicintainya memilih lelaki lain? Pikir Bu Lastri.

"Mereka kira gua kawin lagi, ya ... soalnya pada gak tau lo suami gua, Dev," terang Acha.

Devid mengangguk setuju. "Lebih baik gitu, kan? Daripada jadinya elu yang kawin ama Si Bram!"

Acha menoleh dengan tatapan tak suka. "Kenapa, sih, lu ngiranya gitu mulu? Gua sayang ama lo, Dev!"

"Tapi lu belum jawab pertanyaan gua malam itu," protesnya.

Dahi Acha mengerut. "Pertanyaan yang mana?"

Kedua tangan Devid sekarang berada di dalam kedua saku celana hitamnya. "Lu pernah bosen gak nunggu gua? Sampe ada niatan mo nyerah?"

Acha terdiam. Sepuluh tahun lamanya, meninggalkan kenangan manis yang hanya mampu berkelebat dalam pikiran. Memaksa semua janji yang dilontarkan adalah janji busuk yang takkan ditepati sampai kapan pun. Namun, sekarang Devid sudah kembali dalam keadaan yang sungguh sangat sempurna dan Acha tak seharusnya mengungkit jawaban yang akan membuat lelakinya terluka.

Sebuah pelukan hangat menyelimuti tubuh Devid. Acha tidak menjawab, ia malah menenggelamkan wajahnya di dada bidang Devid yang mulai bergetar tak karuan. Mereka tetap diam. Biarkan suara pembawa acara yang bergema memenuhi gedung pernikahan, juga kedua mempelai yang saling melempar senyum ke arah kamera terpaksa. Devid juga enggan membahas pertanyaan konyolnya itu, tetapi ia masih ingin mendengar jawaban dari Acha langsung.

"Yuk, tamu undangan udah mulai berkurang," ajak Devid untuk menyalami pengantin baru di depan.

Acha menegakkan tubuhnya, lalu menatap bola mata berbinar Devid. "Lo gak marah, kan?"

Dijawilnya pipi kanan Acha dengan gemas. "Gak, Changcuts!"

Acha terbahak, dengan cepat satu kecupan mendarat di bibir Devid. Acha segera mundur selangkah, sedangkan Devid masih terkejut dengan apa yang wanitanya lakukan di depan umum. Beruntung tidak ada huru-hara menyoraki keduanya. Namun, berhasil Bram tetap dengan jelas aksi gila, ah bukan gila, tetapi sangat romantis yang Acha lakukan di gedung pernikahannya!

"Kek, gak pernah dicium aja!" sindir Acha seraya menarik tangan Devid.

Tubuh Devid sedikit membungkuk, lalu berbisik tepat di samping daun telinga kiri Acha. "Sepuluh taun gua gak ciuman ama bini gua, anjir!"

Acha melotot. "Diem!" tegasnya.

Devid tidak peduli digigitnya kecil daun telinga Acha diakhiri tawa bahagia, lalu tangan kanannya kembali melingkari pinggang istrinya. Menaiki tiga undakan anak tangga, berjalan di atas karpet merah yang bertabur kelopak bunga berguguran. Tepat di depan keduanya sekarang Bram berdiri kaku, mencoba menenangkan diri tetap senyum, sedangkan tangan kirinya yang Anya rangkul terasa batu.

"Acha? Kamu baik?" tanya Bu Lastri sama seperti Bram yang nampak kaku.

"Alhamdulillah, Bu." Acha mencium punggung tangan Bu Lastri.

Bu Lastri menatap kehadiran Devid tepat di belakang Acha. Bola matanya tak memercayai apa yang ia lihat sekarang. Dia bukan Devit bocah yang pernah Acha ajak ke rumahnya untuk menjenguk Bram saat sakit. Apakah dia suami Acha? Ayah dari Devit yang dikabarkan telah meninggal?

Mengetahui raut wajah penuh tanya Bu Lastri Acha segera berkta, "Ini suami saya, Bu."

Devid melempar senyum. "Saya Devid."

"O—oh, iya. Nak Devid, ehh ... Devit gak ikut?"

"Enggak, Bu, katanya ada jadwal renang sekarang."

Bu Lastri mengangguk cepat. Setelahnya Acha berhadapan dengan Bram yang tetap diam bungkam. Namun, tatapan matanya tak bisa dibohongi bahwa ia menatap tak percaya kehadiran Devid.

"Kalian hutang penjelasan," ucap Bram.

Acha dan Devid saling berpandangan. "Selamat, ya, Bram. Semoga jadi keluarga sakinah mawadah warahmah. Cepet dapet momongan, ya, gak baik kalo ditunda-tunda," jelas Acha mengalihkan pembicaraan.

Anya yang mendengar ucapan Acha hanya mampu mengamini.

"Ya udah, langsung fotbar aja, yuk?" ajak Devid.

Acha mengangguk, segera berdiri di samping pengantin wanita, sedangkan Devid di samping Bram. Sebelum keduanya pamit pergi, Devid berbisik, "Gua juga denger telepon konyol malem tadi, Bram."

Bram terpaku, tak mampu membalas ucapan Devid yang sudah berjalan beriringan merangkul pinggang Acha dengan erat. Mulai antre mengambil nasi dan Bram merasa tak ada tujuan lain untuk melanjutkan kehidupannya! Semua sudah kacau tak ada lagi yang harus dipertahankan apalagi diperjuangkan!

"Mama gak perlu tanya, dia suami ke satu atau kedua, tapi ... bukankah banyak rumor Acha seorang janda, Bram?"

Pertanyan ibunya Bram hiraukan, ia juga bingung harus menjawab apa. Sepuluh tahun lamanya, sangat mustahil Devid datang! Ke mana saja lelaki itu? Apa jangan-jangan sudah memiliki keluarga kecil lain di negara lain? Mungkin saja! Gila, Bram mulai percaya lagi bahwa ia akan menikahi Acha suatu saat nanti.

"Gua bakal buktiin, kalo Si Devid berkhianat di negara lain. Pasti Acha bakal ninggalian dia kalo udah tau faktanya, liatin aja," batin Bram, mulai dengan rencana baru. Padahal dia baru saja sah menjadi suami Anya.

Selesai menghabiskan satu porsi makan dengan lauk yang langka Devid temukan di tempat masa lalu. Mereka segera beranjak pergi pulang, menuju toko buku besar yang kemarin Acha kunjungi. Terasa mimpi yang begitu nyata. Kemarin Acha mengeluhkan masa lalu penuh cerita bersama Devid yang tak mungkin terulang kembali. Namun, rasa pilunya cepet terdengar oleh Tuhan.

Bukan cepat terdengar! Butuh sepuluh tahun bagi keduanya untuk kembali bersama. Kepala Acha bersandar di pundak kiri Devid. Keduanya memilih duduk tanpa alas di atas ubin dingin. Menatap hiruk-pikuk jalanan di bawah sana. Warung makan pinggir jalan, dihiasi tenda biru tak hilang dari pandangan sejak dulu. Hari ini, siang ini tidak ada tetesan air langit yang mengganggu.

Pejalan kaki tetap sibuk dengan ponsel di tangan, tak jauh dari kerumunan seorang pengamen bersuara emas dua pasang insan sedang merajut asmara. Saling menguapi makanan pinggir jalan, diiringi tawa lalu berakhir berangkulan. Indahnya menikmati hari di toko buku dengan harum lembaran buku baru.

Note : Hayolohh pada nunggu update, ya? Maaf ya lagi sibuk banget, di pengajian juga lagi ulangan tulis mo maulid nabi juga. Insya allah besok up lagi

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang